Majalengka
Majalengka Tanah Kelahiranku (Ligung)
Blog ini saya buat untuk sedikit mendeskripsikan tentang Kabupaten Majalengka serta Profilku :)
Selasa, 07 November 2017
Kamis, 12 September 2013
Sejarah Tempat tinggal ku.
Ini dia Desa Ligung, dimana tempat aku di lahirkan dan di besar kan oleh kedua orang tua ku..Desa ku ini lumayan jauh dari pusat Kabupaten Majalengka.Mari kita simak cerita sejarah desaku ini....
Jaman dahulu kala ada 3 orang masing-masing bernama Buyut Alimah,
Buyut Rasmi dan Buyut Kawi. Buyut Alimah berasal dari Cirebon, Buyut
Rasmi berasal dari Cirebon juga, sedangkan Buyut Kawi berasal dari
Beusi. Tiga orang ini merupakan “kejaran” orang kompeni Belanda, juga
tiga orang ini pernah mengikuti zaman perang disebut perang Kedongdong
di bawah pimpinan Pangeran Untung Surapati dari Mataram yang bermaksud
ingin mengusir Belanda. Kemudian Buyut Kawi ini mempunyai adik perempuan
yang bernama Buyut Barang, sehingga Buyut Barang ini dinikai Oleh Buyut
Sidum yang berasal dari Cisambeng.
Jadi, orang yang pertama menginjakkan kaki di Ligung ini hanya ada lima orang. Hanya saja yang dua orang yaitu Buyut Alimah dan Buyut Rasmi tinggal di hutan Bantarwaru yang sekarang disebut dengan Sawah Slamet yang artinya selamat dari kejaran kompeni Belanda. Kemudian yang tiga Buyut Kawi bertempat tinggal di Ligung, kemudian semakin lama semakin banyak pengunjung sehingga mencapai tujuh puluh tiga (73) Kepala Keluarga yang berdiri dari murid-muridnya sendiri. Pada waktu itu pada tahun 1731, kemudian diadakan musyawarah pembentukan Kepala Desa sehingga sepakat untuk memilih Buyut Alimah untuk menjadi Kepala Desa hanya saja pada waktu itu antara Ligung dan Bantarwaru hanya dikepalai satu Kepala Desa saja.
Dan yang memberi nama Desa Ligung sendiri yaitu Buyut Alimah, asal kata Ligung yaitu karena diambil dari FAMILI dan AGUNG. Pada waktu itu rumah dan pekarangan masih sedikit dan sebagian besar masih hutan.
Jadi, orang yang pertama menginjakkan kaki di Ligung ini hanya ada lima orang. Hanya saja yang dua orang yaitu Buyut Alimah dan Buyut Rasmi tinggal di hutan Bantarwaru yang sekarang disebut dengan Sawah Slamet yang artinya selamat dari kejaran kompeni Belanda. Kemudian yang tiga Buyut Kawi bertempat tinggal di Ligung, kemudian semakin lama semakin banyak pengunjung sehingga mencapai tujuh puluh tiga (73) Kepala Keluarga yang berdiri dari murid-muridnya sendiri. Pada waktu itu pada tahun 1731, kemudian diadakan musyawarah pembentukan Kepala Desa sehingga sepakat untuk memilih Buyut Alimah untuk menjadi Kepala Desa hanya saja pada waktu itu antara Ligung dan Bantarwaru hanya dikepalai satu Kepala Desa saja.
Dan yang memberi nama Desa Ligung sendiri yaitu Buyut Alimah, asal kata Ligung yaitu karena diambil dari FAMILI dan AGUNG. Pada waktu itu rumah dan pekarangan masih sedikit dan sebagian besar masih hutan.
Demografi
Mayoritas masyarakat Ligung menggunakan bahasa Jawa CirebonPeristiwa Penting Yang Terjadi di Ligung
- Pada tahun 1890 membangun sebuah pintu air besar yang dikenal sampai dengan sekarang dengan nama PUTERAN waktu itu Kepala Desanya Bapak Warja.
- Pada tahun 1901 diadakan penebangan hutan untuk dijadikan pesawahan dan pekarangan juga membangun Lumbung Negara, pada saat itu Kepala Desanyna Bapak Surangggandanu.
- Pada tahun 1917 memindahkan alun-alun desa dan Masjid yang asalnya dekat sungai Cikeruh yang sekarang menjadi pasar, waktu itu kepala Desanya Bapak DASMAR.
- Pada tahun 1926 melaksanakan Gotong Royong yang sekarang menjadi Kampung Loji dan Kedunganyar yang disponsori oleh Buyut Pemuruyan dan Buyut Mami waktu itu kepala Desanya SAKIM.
- Pada tahun 1950 pemindahan pasar yang asalnya berada di Blok Bengkok yang sekarang telah dijadikan SD (Sekolah Dasar) II Waktu itu kepala Desanya Bapak Suganda.
- Pada tahun 1982 terjadi pemekaran desa Ligung menjadi dua desa yaitu Desa Ligung Lor, waktu itu kepala Desanya Bapak Sahlan.
- Pada tahun 1986 diadakan listrik masuk desa waktu itu Kepala Desanya Bapak Darma.
Kepala Desa
- Buyut Alimah 1731-1750
- Banjur 1750-1769
- Erban 1769-1784
- Nasingkem 1784-1797
- Emar 1797-1810
- Rengga 1810-1825
- Askat 1825-1838
- Asdam 18521864
- Kandam 185-1864
- Genjot 1864-1880
- Warja 1880-1890
- Mire 1890-1894
- Dasem 1894-1899
- Surangganu 1899-1899
- Asnat 1909-1915
- Dasmar 1915-1915
- Sakim 1936-1933
- Warjan 1933-1936
- Warsa 1936-145
- Reja Suganda 1945-1952
- Dali 1952-1957
- Cariah 19571962
- Dasja 1962-1965
- Musa 1965-1979
- Sahlan 1979-1985
- M. Darma 1985-1988
- Drs A.M. Arianto 1988-1998
- Drs A.M. Arianto 1998-2000
- Odik Radi 2000-2001
- Gunawan 2001-2011
- Husaini 2011-2017
Kontoversi di Kabupaten Majalengka
Setiap
menjelang perayaan hari jadi Majalengka yang diperingati 7 Juni selalu
saja menjadi perdebatan dan perbincangan panjang bahkan menjadi sebuah
polemik antara pro dan kontra. Sejarah Majalengka yang diformalkan
melalui Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1982 tentang Hari jadi Majalengka
yang jatuh pada 7 Juni 1490 masehi, kini ditentang oleh sebagian
masyarakat, benarkah sudah setua inikah usia Majalengka ?
Sebelum versi resmi berdasarkan Perda
Nomor 5 tahun 1982 yang menetapkan hari jadi pada 7 Juni dengan titi
mangsa 1490, Majalengka juga punya hari jadi lain yang ditetapkan Pemkab
28 Oktober 1979, yakni 5 Januari dengan titi mangsa 1819, berdasarkan
Staatsblad 23-1819. Namun Hari jadi 5 Januari, oleh Bupati Majalengka
Muhammad S. Paindra, dicabut pada 25 Maret 1981, lalu ditetapkan 7 Juni
hingga sekarang melalui Perda 5/1982. Pertanyaannya, kenapa bisa
terjadi demikian ?.
Beberapa kalangan menilai penetapan Hari
jadi Majalengka 7 Juni 1490 selain tidak kuat konstruksinya, juga
mengandung banyak kelemahan berdasarkan historiografi serta dianggap
tidak objektif dan faktual. Hal ini karena sejarah Majalengka saat ini
adalah tidak lebih sebagai legenda atau mitos sejarah lisan, tanpa
didukung sebuah data primer, sekunder, dan tersier sebagaimana kaidah
ilmu sejarah. Menurut Tatang Gantika, mantan Kepala Kantor Kearsipan
dan Perpustakaan Daerah Majalengka menyatakan penelusuran sejarah tempo
dulu sudah menghasilkan penemuan tentang berdirinya Kabupaten
Majalengka, yakni berdasarkan Besluit van commisarissen-General over
Nederlandsch-Indie, tanggal 5 januari 1819, nomor.2, (stbld.1819 no 9)
yang berisi ketentuan tentang pembagian keresidenan (residentie)
Cheribon dan luasnya keregenan-keregenan (regentschappen) dari
kerisedenan tersebut.
Keresidenan Cheribon dibagi ke dalam lima
keregenan (regentschappen), yakni : Cheribon, Begawan wettan, Madja,
Galo dan Koeningan. “Berarti regentschappen Madja atau Kabupaten
Majalengka terbentuk berdasarkan besluit tanggal 5 Januari 1819 yang
merupakan awal berdirinya Kabupaten Majalengka, ” tegas Tatang beberapa
waktu lalu kepada majalengka-online.com. Dalam besluit tersebut
disebutkan untuk keregenan Madja, dengan batas wilayah : jalan pos besar
dari tempat penyebrangan di karrangsambong ke timur naik, sampai sungai
Tjiepietjong di sekitar Djamblang; sungai ini ke arah atas sampai desa
Lengkong, dari sana batas pemisah dari Keregenan Radjo Galo sekarang ini
sampai puncak gunung Tjermaij, selanjutnya ke arah selatan batas
pemisah Keregenan Talaga sekarang ini, sampai sungai Tjijolang, dan lalu
ke arah baratdaya dan barat batas pemisah yang sama sampai batas
pemisah dari keresidenan Cheribon dengan keregenan Sumadang dan batas
pemisah ini ke arah utara sampai jalan pos besar di penyebrangan di
Karrangsambong.
“Berdasarkan uraian tersebut, bila
dikaitkan dengan Hari Jadi Majalengka sesuai dengan Staatsblad 1819 No.9
tertanggal 5 Januari 1819 No.23 menunjukan bahwa usia Kabaupaten
Majalengka baru mencapai 191 tahun dan bila dikaitkan dengan perubahan
nama Kabupaten Madja menjadi Kabupaten Majalengka sesuai dengan
Staatsblad 1840 No.7 tanggal 11 Februari 1840 No.2 menunjukan bahwa usia
Kabupaten Majalengka baru mencapai 170 tahun, ” paparnya. Versi
Legenda Dalam sebuah legenda disebutkan, Nyi Rambut Kasih dari Kerajaan
Sindang Kasih (pusat pemerintahan Majalengka sekarang) jatuh cinta
kepada Pangeran Muhammad yang keturunan Pangeran Panjunan, Cirebon.
Syahdan, di Cirebon, dilanda wabah mematikan.
Penyakit itu hanya bisa disembuhkan
dengan buah pahit Maja. Lalu pergilah Pangeran Muhammad ke sebelah barat
Cirebon. Namun, Pangeran Muhammad harus berperang melawan seorang
wanita, Nyi Rambut Kasih. Dalam peperangan, Nyi Rambut Kasih menghilang
bersama buah maja. Sejak itu, daerah itu bernama Majalengka, berasal
dari kata ” maja e langka” (buah Majanya tidak ada). Kisah Pangeran
Muhammad yang selain mencari buah maja, sekaligus menyebarkan Islam,
dipercaya cikal bakal pemberian nama Majalengka. Ini terjadi pada 10
Muharam 1412 tahun Hijriah, yang bila dikonversikan ke tahun Masehi
jatuhnya pada 7 Juni 1490.
Versi lain berasal dari masa lebih muda,
pada zaman kolonialisme Belanda. Disebutkan, di sebuah tempat di depan
alun-alun (sekarang gedung DPRD Majalengka), ada pabrik kina “Maja L
& Co”. Pabrik itu menjadi tanda bagi masyarakat. Lalu terjadi
keseleo lidah, hingga “Maja L & Co” dipercepat dengan “Maja elen
ko”, dan menjadi “Majalengka”. Dari dua kisah di atas, sejak tahun 1980
dibentuk tim sejarah Majalengka untuk menentukan hari jadi, yang
digunakan ialah versi pertama. Ketika itu, tim merujuk kisah Pangeran
Muhammad, berkiblat pada Cirebon yang juga masih ada kaitan penyebaran
Islam oleh Sunan Gunung Djati. Benarkah banyak yang tidak suka dengan
penetapan hari jadi berdasarkan pada dokumen Belanda tersebut, karena
dianggap tidak nasionalis. Sementara data-data tertulis yang dimiliki
saat ini berkaitan dengan sejarah daerah hanya pada dokumen-dokumen yang
diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda.
Atau kita berpatokan dengan Hari Jadi
Majalengka berdasarkan legenda atau mitos sebagaimana yang disebutkan
diatas. Oleh karena adanya polemik yang memang masih mengundang banyak
kontroversi ini, pemerintah daerah Majalengka telah membentuk sebuah
“Tim Penelusuran dan Pengkajian Sejarah Majalengka ” atau disebut “Tim
22″ yang diketuai oleh Nina Lubis. Diperkirakan, tim tersebut
penyusunannya akan rampung Oktober 2010 mendatang. Pembentukan Tim 22
tersebut tidak lain adalah meluruskan sejarah masa lalu Majalengka agar
tidak intuisi imajinatif tetapi berdasarkan data dan fakta ilmiah yang
bisa dipertanggungjawabkan.
Kita tunggu saja hasil penyusunan sejarah
masa lalu Majalengka, apakah hari ini adalah akhir perayaan angka usia
520 tahun atau tetap tahun depan bertambah menjadi 521tahun atau malah
usia Kabupaten Majalengka lebih mudah sebagaimana disebutkan dalam
besluit yakni 170 tahun atau 192 tahun. Sumber: Majalengka-online.
Pada jaman dahulu tersebutlah sebuah kisah-kisah tang nyata. Dimana alam buana ini berisikan makhluk manusia yang paling sempurna.
Suatu kisah yang menceritakan negeri Jatiwangi yang dulunya masih dinamakan negeri Wanayasa, di negeri itu terdapat sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Wanayasa.
Kerajaan tersebut dipimpin oleh “Arya Jiteng Jatisawara”, beliau mempunyai seorang permainsuri bernama Dewi Basrini, dari perkawinannya mereka dikaruniai dua orang putra yakni:Putra pertama diberi nama Rd.Anggara Suta, sedangkan putra kedua diberi nama Rd.Solihin.
Di dalam kerajaan Wanayasa dibantu oleh lima irang utusan (Patih) diantaranya:
F Patih pertama bernama,Buyut Dopang Karanginan, yang berasal dari Bantar Jati. (Makam beliau berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang disebut sebagai Buyut Ranjeng).
F Patih ke dua bernama, Arya Pakalipan. (Makam beliau berada di tanah Jatisura, tang sekarang disebut sebagai Buyut Ranto).
F Patih ketiga bernama, Narta Wangsa yang berasal dari kerajaan Mataram dengan membawa Simbol Siliwangi. ( makam meraka berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang disebut sebagai Buyut Nambang / Ngalambang ).
F Patih Keempat bernama, Grena Sena.
( Makam mereka berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang di sebut sebagai Buyut Lurah / Bungur).
F Patih ke lima bernama, Nyimas Ratu Ayu Nawang Litra yang berasal dari Talaga.
( Makam mereka berada di tanah Jatiwangi yang sekarang disebut sebagai Buyut Kopo).
Kerajaan Wanayasa yang letaknya berada disebalah utara wilayah Majalengka (sekarang) terkenal cukup makmur tidak kurang sandang pangan.
Sedang wilayah Majalengka sebelum diubah dulunya, dinamakan Daerah Sindang Kasih, di Daerah ini sebagai pimpinannya adalah seorang Bupati yang bernama Pangeran Muhamad, pada suatu hari ada seorang musafir yang singgah di daerah ini, mereka bernama Candi Maya dari Wanayasa yang ingin ikut bersama orang-orang islam di Sindangkasih, dan orang-orang islam di dearah tersebut dipimpin oleh :
ü Panembahan Wirabawa
ü Ki Ageng Badori
ü Patih Wirajaya
Sebagai panglima perang daerah Sindangkasih benama Patih Wijaya, mereka mengajak Candi Maya untuk bersatu, guna menghancurkan kerajaan di Wanayasa.
Maka tidak lama kemudian, terjadilah peperangan antara Sindangkasih dengan kerajaan Wanayasa, dalam sebuah peperangan tidak dapat diceriterakan, yang kemudian akhirnya Kerajaan Wanayasa dapat dihancurkan oleh Sindangkasih.
Kemudian Raja Wanayasa yang bernama Arya Jiteng Jatisawara, hilang ke alas Sindangkasih dengan membawa “Gada Pusaka” yang diberi nama Wikulit Pangpangindahan Godong. Gada tersebut dibawa-nya ke sebuah alas, Lalu diletakkannya dibawah pohon Maja.
PATAPAAN TARI KOLOT
Setelah hancurnya Kerajaan Wanayasa
Pangeran Lontang Jaya yang berasal dari keturunan Daeng Mataram, mendirikan sebuah pertapaan yang dinamakan Pertapaan Tari Kolot. ( Bekas Pertapaan Tari Kolot kini dinamakan Buyut Subang yang sekarang berada di tanah Surawangi ).
Pada waktu itu di Patapaan Tari Kolot, sedang bermusyawarah untuk memberi tahu kepada orang-orang pertapaan Tari Kolot, jangan sampai ikut memusuhi Daerah Sindangkasih, ketika sedang bermusyawarah, tiba-tiba datang beberapa tamu, mereka berasal dari daerah Tegal Jambu, diataranya Rd. Anggana Suta, Rd. Solihin serta ibunya Dewi Basrini.
Kehadiran mereka di petapaan Tari Kolot, tidak lain hanya untuk melaporkan kepada Pangeran Lontang Jaya bahwa di Tegal Jambu telah kedatangan seorang tamu yang bernama Ki Bagus Rangin dari Bantarjati, beliau minta bantuan kepada Tegal Jambu, sehubungan orang-orang Bantarjati ditantang oleh Dalem Sumedang, yakni Pangeran Surya Dilaga alias Bupati Sumedang ( Pangeran Cornel ).
Dalem Sumedang mendirikan sebuah perkemahan yang terletak di Kosambian, Pangeran Surya dilaga pada waktu itu terkenal dengan se-ekor kudanya yang sangat sakti, yang diberi nama “Aandra Wuluh”. Kuda itu sangat ampuh tidak mempan dengan pedang, sekalipun hasil kikiran gurinda.
Dalam perkemahan di kosambian dibantu oleh para senopati, diantaranya:
ü Embah Parung Jaya
ü Embah Kondang Hapa
ü Embah Sayang Hawu
ü Embah Terong Peot
ü Pangeran Kawilalan
ü Pangeran Cipta Wira
Para senopati tersebut disultani oleh Pangeran Suryadiwangsa.
TARI KOLOT
Dipertapaan Tari Kolot, pangeran Lontang Jaya setelah mendengar laporan dari orang-orang Tegal Jambu, beliau sangat gembira sekali, bahwa Ki bagus Rangin telah meminta bantuan mereka, kemudian Pangeran Lontang Jaya memberi amanat kepada salah satu dari mereka, yakni Rd. Anggana Suta, bahwa nanti dalam peperangan menghadapi dalem Sumedang yang dipimpin Pangeran Surya Dilaga, hendaknya menunggangi se-ekor kuda peninggalan kerajaan Wanayasa yang telah hancur pada peperangan melawan Sindangkasih.
Kuda peninggalan kerajaan wanayasa terkenal sakti, ampuh dan kuat, yang diberi nama “Bujang sangara”. Kemudian Pangeran Lontang Jaya, memerintahkan Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin untuk segara berangkat, dengan dibekali keris pusaka yang diebri nama Si Kober atau Si Conet Turangga Rendana, namun sebelum berangkat ke Monjot tempat dimana akan digunakan peperangan antara Bantarjati dengan Sumedang. Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin diperintahkan oleh Pangeran Lontang Jaya untuk menelusuri dahulu sebuah alas Sindang Kasih, dimana tempat itu terdapat sebuah Gada Pusaka peninggalan Kerajaan Wanayasa yang dibawa hilang ke alas tersebut dan kemudian diletakkannya di bawah pohon Maja.
Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin berangkat menuju timur barat dari pertapaan tari Kolong, dengan menunggangi se-ekor kuda peninggalan ayahnya, yang diberi nama Bujang Sangara.
Namun sesampainya di Oncog Dangoh, bertemu dengan orang-orang Marta Singa, yakni :
ü Rd. Arya Tinkin
ü Rd. Tejar Wilar
ü Pangeran Wira Kesumah
Pangeran Wira Kesumah adalah orang Luragung, putranya Ki Ageng Cipta Rasa, bertemu dengan Rd. Anggana Suta, lalu bertanya :
“Hei kesatria……! berasal dari mana, dan
mau kemana menunggangi se-ekor kuda?”.
Kemudian Rd. Anggana Suta menjawab :
“Kami sebenarnya orang Wanayasa, yang hendak
mengambil pusaka di alas Sindang Kasih”.
Begitu mendengar jawaban dari Rd. Anggana Suta, bahwa Mereka orang Wanayasa, pangeran Wira Kesumah, Arya Tinkin dan Tejar Wilar sangat marah, karena menurut kerajaan Wanayasa adalah musuh Cirebon, maka terjadilah peperangan di Oncog Dangoh.
Dalam sebuah peperangan meraka saling mengadu kekuatan, namun Rd. Anggana Suta berkat tunggangan kudanya yang sakti, Akhirnya orang-orang Marta Singa kocar-kacir oleh amukan Rd. Anggana suta, salah satu dari mereka, yakni Rd. Arya Tinkin ditendang oleh Kuda Bujang Sangara, sampai melayang lalu jatuh di Pasir Kembang. (yang sekarang di sebut Leuweung Gede)
Setelah mengadakan peperangan di Oncog Dangoh Rd. Anggana Suta meminta kepada adiknya Rd. Solihin, agar tidak mengikuti perjalanannya ke alas Sindang Kasih, dan diperintahkannya untuk menuju ke Monjot supaya bersatu dengan orang-orang Bantarjati yang dipimpin oleh Ki Bagus Rangin. Dengan sangat terpaksa Rd. Solihin berangkat sendiri sambil menangis dalam hatinya, karena perjalanan dari Oncog Dangoh ke Monjot cukup jauh.
Sesampainya di Monjot, kemudian Rd. solihin bersatu dengan orang-orang Bantarjati, lalu menceriterakan kepada para senopati bahwa kakaknya yang bernama Rd. Anggana Suta, sedang berangkat menuju ke sebuah alas Sindang Kasih.
Adapun para senopati dari Bantarjati yang sudah ada di Monjot diantaranya :
v Ki Bagus Daisah
v Ki bagus Merat
v Ki bagus sena
v Ki Bagus Lejah
v Ki Bagus Kondur
v Ki Bagus Tarti
v Ki Bagus Maryem
v Ki Bagus Nairem
v Ki Bagus Udung
v Ki Bagus Arsitem
v Ki Bagus Yasa
v Ki Ageng Ciputih
v Dll.
Para Senopati dari bantarjati ini sedang menunggu kedatangan Rd. Anggana Suta, yang akan membantu peperangan nanti melawan Dalem Sumedang.
Alas Sindangkasih
Disuatu tempat di Alas Sindangkasih di Pohon Maja, Rd. Anggana Suta sudah tiba guna mencari pusaka peninggalan ayahnya, memang benar apa yang diceriterakan oleh Pangeran Lontang Jaya bahwa pusaka tersebut berada di bawah Pohon Maja, secara kebetulan Pohon Maja itu mempunyai satu biji buah, kemudian Rd. Anggana Suta mengambil pusaka, serta memetik buah Maja itu.
Berkenaan dengan itu datang segerombolan pasukan kuda, yakni, pasukan dari Sindangkasih yang dipimpi oleh Panembahan Wirabama dan Ki Ageng badori guna mencari buah Maja.
Nampaknya buah Maja yang dicari sudah berada ditangan seorang satria yakni Rd. Anggana Suta, lalu mereka merebutnya dengan paksa, namun Rd. Anggana Suta, lalu mereka merebutnya dengan paksa, namun Rd. Anggana Suta tidak memberikannya karena menurutnya mereka ini adalah orang-orang Sindangkasih, yang pada waktu dulu telah menghancurkan Kerajaan Wanayasa, maka dari pada memberikan buah Maja Rd. Anggana Suta menantang perang, yang kemudian terjadilah peperangan di alas Sindangkasih.
Dalam peperangan Rd. Anggana Suta tidak terlepas dari tunggangannya se-ekor kuda bernama Bujang Sangara, lalu keris pusaka pemberian Pangeran Lontang Jaya digunakannya, untuk menghantam pasukan dari Sindangkasih, akhirnya Rd. Anggana Suta berhasil mematahkan pasukan tersebut, bahkan menurut ceritera Ki Ageng Badori ditendang oleh kaki kuda Bujang Sangara yang ditunggangi oleh Rd. Anggana Suta, sampai melayang entah kemana.
Diceriterakan di sebuah tempat di pinggir Sungai Cimanuk, ada seorang wanita yang sedang melakukan tapa brata mereka adalah Dewi Sekar Taji yang berasal dari Kutamanggu melakukan tapa brata tidak lain ingin masuk Agama Islam.
Di suatu saat ada wahyu yang menyatakan kepada Dewi Sekar Taji bahwa tapa brata bisa selesai jika sudah ada orang jatuh disampingnya, rupanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Agung, yang pada akhirnya wahyu itu menjadi kenyataan Ki Ageng Badori yang di tendang oleh kuda Bujang Sangara, sewaktu peperangan di Alas Sindangkasih jatuh di pinggir Sungai Cimanuk tepat di samping Dewi Sekar Taji, yang sedang melakukan tapa brata.
Mendengar suara orang jatuh, kemudian Dewi Sekar Taji membuka matanya, ternyata benar yang jatuh di sampingnya adalah seorang senopati, begitu pula sebaliknya Ki Ageng Badori pun terkejut melihat ada seorang wanita yang sedang melakukan tapa brata sampai rambutnya kusut dan pakaiannya compang-camping.
Ki Ageng Badori lalu mengajak pada Dewi Sekar Taji, namun Dewi Sekar Taji menolaknya, karena keinginannya untuk mempelajari Agama Islam belum terkabulkan, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Ki Ageng Badori, keinginan Dewi Sekar Taji disanggupinya, namun Ki Ageng Badori meminta sebuah syarat untuk dilaksanakan oleh Dewi Sekar Taji, yaitu harus bisa mengambil Buah Maja yang ada di Alas Sindangkasih, Dewi Sekar Taji pun menyanggupi syarat itu, kemudian Dewi Sekar Taji pamit untuk menuju ke sebuah alas.
Sesampainya di Alas Sindangkasih, bertemu dengan seorang satria, yang bernama Rd. Anggana Suta, kemudian Dewi Sekar Taji meminta bantuan Rd. Anggana Suta mencari buah Maja.
Rd. Anggana Suta melihat seorang wanita seorang wanita yang rambutnya kusut dengan pakaian yang sudah compang-camping, nampaknya sangat tertarik, karena wajah Dewi Sekar Taji walaupun keadaan demikian masih kelihatan cantik, sampai – sampai hati Rd. Anggana Suta merasa jatuh cinta kepadanya.
Kemudian Rd. Anggana Suta menyerahkan buah Maja yang sudah berada ditangannya.
Betapa gembiranya perasaan hati Dewi Sekar Taji setelah mendapatkan buah Maja, dengan sangat berterima kasih kepada seorang kesatria yang gagah, arief serta bijaksana.
Kemudian Dewi Sekar Taji pamit kepada Rd. Anggana Suta untuk meninggalkan Alas Sindangkasih dengan membawa buah Maja, begitu juga halnya dengan Rd. Anggana Suta, keluar meninggalkan Alas itu, untuk meneruskan perjalanannya menuju daerah Monjot guna membantu orang-orang Bantarjati yang akan berperang melawan Dalem Sumedang.
Dewi Sekar Taji setelah berhasil membawa buah Maja, kemudian menemui Ki Ageng Badori yang sedang menunggunya setelah keduanya bertemu, kemudian Ki Ageng Badori mengajak untuk menghadap Pangeran Muhamad (Bupati Sindangkasih).
Sesampainya di pendopo nampak para senopati Sindangkasih sedang berkumpul, kemudian Dewi Sekar Taji menyerahkan buah Maja untuk dijadikan obat istri Bupati Sindangkasih (Siti Armilah) yang sedang sakit.
Pangeran Muhamad (Bupati Sindangkasih) merasa bangga dan berterima kasih kepada Dewi Sekar Taji terutama kepada Rd. Anggana Suta (Putra Kerajaan Wanayasa) yang telah menolongnya mendapatkan buah Maja.
Kemudian buah Maja itu di obatkan kepada istri Bupati (Siti Armilah) rupanya sudah menjadi kekuasaan-Nya begitu buah Maja di obatkan, Siti Armilah mendadak sembuh dari sakitnya yang sudah beberapa bulan dideritanya, betapa gembiranya Pangeran Muhamad (Bupati) melihat istrinya sudah sembuh, kemudian Pangeran Muhamad mengucapkan janji, bahwa di akhir peperangan Rd. Anggana Suta akan di ubah namanya dengan sebutan Ki Bagus Manuk, dan wilayah Wanayasa yang beberapa lama telah dikuasainya akan diserahkan kembali kepadanya.
Buah Maja yang telah dipakai obat, kemudian diserahkan kepada salah seorang senopati yakni Panembahan Wirabama, namun ketika hendak diterima tiba-tiba buah Maja itu jatuh ke tanah lalu menghilang seketika, melihat kejadian itu Panembahan Wirabama merasa heran dan malu, akhirnya Panembahan Wirabama pun ikut menghilang.
Melihat kejadian yang semakin mengherankan, Ki Ageng Badori mempunyai firasat, bahwa besek atau lusa setelah hilangnya masa kerajaan, nama Sindangkasih kelak akan dirubah dengan sebutan Majalengka.
Perubahan ini diambil dari suatu kejadian Buah Maja yang hilang, yaitu kata: “MAJA” diambil dari nama buah “Maja”, sedangkan “LENGKA” karena hilangnya tidak ditemukan (langka) maka sampai sekarang daerah tersebut dinamakan:
————————————– MAJALENGKA ——————————————
Tanah Monjot
Keadaan di tanah Monjot sedang terjadi perang campur antara Dalem Sumedang dengan Dalem Bantarjati, yang mana Bantarjati di bantu oleh Tegal Jambu, konon menurut ceritera peperangan di tanah Monjot memakan waktu ± 6 bulan, para senopati dari keduanya sudah banyak yang gugur, adapun para senopati dari Bantarjati yang telah gugur diantaranya :
F Ki Bagus Nariem
F Ki Bagus Tarti
F Ki Bagus Udung
F Ki bagus Rantiu
F Ki Bagus Solihin (Rd. Solihin)
Ki bagus Solihin kemudian dimakamkan dipinggir sungai Cimanuk, yang sekarang dikenal dengan sebutan “Buyut Jago”.
Rd. Anggana Suta begitu melihat keadaan sudah semakin buruk dengan telah banyaknya para senopati yang gugur, kemudian maju meladeni Pangeran Surya Dilaga, sambil menunggangi Kuda Bujang Sangara, begitu juga sebaliknya Pangeran Surya Dilaga-pun menunggangi Kuda Sandra Wuluh, akhirnya terjadi perang Patutunggalan, antara Rd. Anggana Suta melawan Pangeran Surya Dilaga.
Perang antara keduanya sama-sama kuat, sama-sama sakti, namun diantara salah satu dari mereka, akhirnya ada yang terdesak hingga ke tatar kaler tanah Monjot, kemudian Rd. Anggana Suta dengan kudanya meloncat kesebuah sungai Cimanuk sambil menggunakan tenaga dalamnya, untuk meringankan tubuhnya, sehingga jalan disungaipun tidak basah.
Kemudian Rd. Anggana Suta menarik Pangeran Surya Dilagahingga terjatuh dari kudanya, lalu kuda itu di pukul oleh Rd. Anggana Suta dengan Gada Pusaka peninggalan ayahnya, kemudian kuda Pangeran Surya Dilaga lari kea rah selatan, sampai di Karanganyar, lalu kuda itu mati di daerah tersebut, dan sampai sekarang daerah itu dinamakan Daerah Kuda Mati.
Pangeran Surya Dilaga (Bupati Sumedang) atau yang disebut Pangeran Cornel, setelah terlepas dari tunggangannya hampir tidak berdaya, ketika hendak dipukul oleh Gada Pusaka yang dibawa oleh Rd. Anggana Suta, kemudian Pangeran Surya Dilaga menyerah, dengan berjanji akan menyerahkan Tanah Sabandar,yang tadinya diakui sebagai wilayah Sumedang.
Setelah usai peperangan dan telah dibuatnya perjanjian, akhirnya para pemimpin itu kembali ke daerah masing-masing, namun Rd. Anggana Suta berangkat menuju kepertapaan Tari Kolot.
Pangeran Lontang Jaya pada waktu itu sedang menanam buah Pohon Jati di pinggiran pertapaan Tari Kolot, namun yang hidup hanya satu, (yang sampai sekarang berada dipinggir Buyut Subang, Desa Surawangi).
Berkenaan dengan itu para senopati di Tari Kolot, sedang bermusyawarah (merbayaksa) tidak lama kemudian datang seorang kesatria, yakni : Rd. Anggana Suata, mereka sengaja datang untuk menemui Pangeran Lontang Jaya, dengan tujuan untuk memberitahu, bahwa peperangan di tanah Monjot telah selesai, dan Dalem Sumedang yang di pimpin Pangeran Surya Dilaga alias Bupati Sumedang Pangeran Cornel, telah dapat dipatahkan / dikalahkan.
Betapa sangat gembiranya Pangeran Lontang Jaya mendengar keterangan dari Rd. Anggana Suta, Kemudian Pangeran Lontang Jaya berjanji akan mengangkat Rd. Anggana Suta untuk dijadikan penguasa di daerah Wanayasa, secara kebetulan Dalem Sumedang mengirim sepucuk surat kepada Patapaan Tari Kolot untuk di sampaikan kepada Rd. Anggana Suta bahwa daerah Wanayasa yang telah beberapa tahun dikuasai oleh Sumedang akan dikembalikannya, berkenaan dengan itu pula Dalem Bantarjati yang dipimpin Ki Bagus Rangin, juga mengirim sepucuk surat, bahwa Bantarjati akan tetap mengaku saudara (keluarga) bahkan Ki Bagus Rangin akan merubah nama Rd. Anggana Suta menjadi Ki Bagus Manuk.
Perubahan nama itu, karena keajaibannya sewaktu peperangan di Monjot, Rd. Anggana Suta bisa menyusuri sungai Cimanuk tanpa basah sedikitpun.
Pangeran Lontang Jaya setelah membaca keterangan dua buah pucuk surat itu, lalu tergugah dalam hatinya bahwa : besok atau lusa nama Wanayasa pun akan dirubah menjadi Jatiwangi, perubahan itu diambil dari sebuah Gada Pusaka peninggalan Kerajaan Wanayasa, yang terbuat dari Pohon Jati, namun jati itu mempunyai keanehan karena berbeda dengan jati-jati yang lainnya, jati itu mempunyai keharuman tersendiri, maka dapat disimpulkan bahwa kata :
JATI diambil dari Pohon Jati, sedangkan WANGI, kerana keharumannya, maka sampai sekarang daerah ini dinamakan :
———————————– JATIWANGI ———————————-
Itu diambil dari buku karamat desa yang diwariskan dari kuwu pertama tahun 1512
Pada jaman dahulu tersebutlah sebuah kisah-kisah tang nyata. Dimana alam buana ini berisikan makhluk manusia yang paling sempurna.
Suatu kisah yang menceritakan negeri Jatiwangi yang dulunya masih dinamakan negeri Wanayasa, di negeri itu terdapat sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Wanayasa.
Kerajaan tersebut dipimpin oleh “Arya Jiteng Jatisawara”, beliau mempunyai seorang permainsuri bernama Dewi Basrini, dari perkawinannya mereka dikaruniai dua orang putra yakni:Putra pertama diberi nama Rd.Anggara Suta, sedangkan putra kedua diberi nama Rd.Solihin.
Di dalam kerajaan Wanayasa dibantu oleh lima irang utusan (Patih) diantaranya:
F Patih pertama bernama,Buyut Dopang Karanginan, yang berasal dari Bantar Jati. (Makam beliau berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang disebut sebagai Buyut Ranjeng).
F Patih ke dua bernama, Arya Pakalipan. (Makam beliau berada di tanah Jatisura, tang sekarang disebut sebagai Buyut Ranto).
F Patih ketiga bernama, Narta Wangsa yang berasal dari kerajaan Mataram dengan membawa Simbol Siliwangi. ( makam meraka berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang disebut sebagai Buyut Nambang / Ngalambang ).
F Patih Keempat bernama, Grena Sena.
( Makam mereka berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang di sebut sebagai Buyut Lurah / Bungur).
F Patih ke lima bernama, Nyimas Ratu Ayu Nawang Litra yang berasal dari Talaga.
( Makam mereka berada di tanah Jatiwangi yang sekarang disebut sebagai Buyut Kopo).
Kerajaan Wanayasa yang letaknya berada disebalah utara wilayah Majalengka (sekarang) terkenal cukup makmur tidak kurang sandang pangan.
Sedang wilayah Majalengka sebelum diubah dulunya, dinamakan Daerah Sindang Kasih, di Daerah ini sebagai pimpinannya adalah seorang Bupati yang bernama Pangeran Muhamad, pada suatu hari ada seorang musafir yang singgah di daerah ini, mereka bernama Candi Maya dari Wanayasa yang ingin ikut bersama orang-orang islam di Sindangkasih, dan orang-orang islam di dearah tersebut dipimpin oleh :
ü Panembahan Wirabawa
ü Ki Ageng Badori
ü Patih Wirajaya
Sebagai panglima perang daerah Sindangkasih benama Patih Wijaya, mereka mengajak Candi Maya untuk bersatu, guna menghancurkan kerajaan di Wanayasa.
Maka tidak lama kemudian, terjadilah peperangan antara Sindangkasih dengan kerajaan Wanayasa, dalam sebuah peperangan tidak dapat diceriterakan, yang kemudian akhirnya Kerajaan Wanayasa dapat dihancurkan oleh Sindangkasih.
Kemudian Raja Wanayasa yang bernama Arya Jiteng Jatisawara, hilang ke alas Sindangkasih dengan membawa “Gada Pusaka” yang diberi nama Wikulit Pangpangindahan Godong. Gada tersebut dibawa-nya ke sebuah alas, Lalu diletakkannya dibawah pohon Maja.
PATAPAAN TARI KOLOT
Setelah hancurnya Kerajaan Wanayasa
Pangeran Lontang Jaya yang berasal dari keturunan Daeng Mataram, mendirikan sebuah pertapaan yang dinamakan Pertapaan Tari Kolot. ( Bekas Pertapaan Tari Kolot kini dinamakan Buyut Subang yang sekarang berada di tanah Surawangi ).
Pada waktu itu di Patapaan Tari Kolot, sedang bermusyawarah untuk memberi tahu kepada orang-orang pertapaan Tari Kolot, jangan sampai ikut memusuhi Daerah Sindangkasih, ketika sedang bermusyawarah, tiba-tiba datang beberapa tamu, mereka berasal dari daerah Tegal Jambu, diataranya Rd. Anggana Suta, Rd. Solihin serta ibunya Dewi Basrini.
Kehadiran mereka di petapaan Tari Kolot, tidak lain hanya untuk melaporkan kepada Pangeran Lontang Jaya bahwa di Tegal Jambu telah kedatangan seorang tamu yang bernama Ki Bagus Rangin dari Bantarjati, beliau minta bantuan kepada Tegal Jambu, sehubungan orang-orang Bantarjati ditantang oleh Dalem Sumedang, yakni Pangeran Surya Dilaga alias Bupati Sumedang ( Pangeran Cornel ).
Dalem Sumedang mendirikan sebuah perkemahan yang terletak di Kosambian, Pangeran Surya dilaga pada waktu itu terkenal dengan se-ekor kudanya yang sangat sakti, yang diberi nama “Aandra Wuluh”. Kuda itu sangat ampuh tidak mempan dengan pedang, sekalipun hasil kikiran gurinda.
Dalam perkemahan di kosambian dibantu oleh para senopati, diantaranya:
ü Embah Parung Jaya
ü Embah Kondang Hapa
ü Embah Sayang Hawu
ü Embah Terong Peot
ü Pangeran Kawilalan
ü Pangeran Cipta Wira
Para senopati tersebut disultani oleh Pangeran Suryadiwangsa.
TARI KOLOT
Dipertapaan Tari Kolot, pangeran Lontang Jaya setelah mendengar laporan dari orang-orang Tegal Jambu, beliau sangat gembira sekali, bahwa Ki bagus Rangin telah meminta bantuan mereka, kemudian Pangeran Lontang Jaya memberi amanat kepada salah satu dari mereka, yakni Rd. Anggana Suta, bahwa nanti dalam peperangan menghadapi dalem Sumedang yang dipimpin Pangeran Surya Dilaga, hendaknya menunggangi se-ekor kuda peninggalan kerajaan Wanayasa yang telah hancur pada peperangan melawan Sindangkasih.
Kuda peninggalan kerajaan wanayasa terkenal sakti, ampuh dan kuat, yang diberi nama “Bujang sangara”. Kemudian Pangeran Lontang Jaya, memerintahkan Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin untuk segara berangkat, dengan dibekali keris pusaka yang diebri nama Si Kober atau Si Conet Turangga Rendana, namun sebelum berangkat ke Monjot tempat dimana akan digunakan peperangan antara Bantarjati dengan Sumedang. Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin diperintahkan oleh Pangeran Lontang Jaya untuk menelusuri dahulu sebuah alas Sindang Kasih, dimana tempat itu terdapat sebuah Gada Pusaka peninggalan Kerajaan Wanayasa yang dibawa hilang ke alas tersebut dan kemudian diletakkannya di bawah pohon Maja.
Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin berangkat menuju timur barat dari pertapaan tari Kolong, dengan menunggangi se-ekor kuda peninggalan ayahnya, yang diberi nama Bujang Sangara.
Namun sesampainya di Oncog Dangoh, bertemu dengan orang-orang Marta Singa, yakni :
ü Rd. Arya Tinkin
ü Rd. Tejar Wilar
ü Pangeran Wira Kesumah
Pangeran Wira Kesumah adalah orang Luragung, putranya Ki Ageng Cipta Rasa, bertemu dengan Rd. Anggana Suta, lalu bertanya :
“Hei kesatria……! berasal dari mana, dan
mau kemana menunggangi se-ekor kuda?”.
Kemudian Rd. Anggana Suta menjawab :
“Kami sebenarnya orang Wanayasa, yang hendak
mengambil pusaka di alas Sindang Kasih”.
Begitu mendengar jawaban dari Rd. Anggana Suta, bahwa Mereka orang Wanayasa, pangeran Wira Kesumah, Arya Tinkin dan Tejar Wilar sangat marah, karena menurut kerajaan Wanayasa adalah musuh Cirebon, maka terjadilah peperangan di Oncog Dangoh.
Dalam sebuah peperangan meraka saling mengadu kekuatan, namun Rd. Anggana Suta berkat tunggangan kudanya yang sakti, Akhirnya orang-orang Marta Singa kocar-kacir oleh amukan Rd. Anggana suta, salah satu dari mereka, yakni Rd. Arya Tinkin ditendang oleh Kuda Bujang Sangara, sampai melayang lalu jatuh di Pasir Kembang. (yang sekarang di sebut Leuweung Gede)
Setelah mengadakan peperangan di Oncog Dangoh Rd. Anggana Suta meminta kepada adiknya Rd. Solihin, agar tidak mengikuti perjalanannya ke alas Sindang Kasih, dan diperintahkannya untuk menuju ke Monjot supaya bersatu dengan orang-orang Bantarjati yang dipimpin oleh Ki Bagus Rangin. Dengan sangat terpaksa Rd. Solihin berangkat sendiri sambil menangis dalam hatinya, karena perjalanan dari Oncog Dangoh ke Monjot cukup jauh.
Sesampainya di Monjot, kemudian Rd. solihin bersatu dengan orang-orang Bantarjati, lalu menceriterakan kepada para senopati bahwa kakaknya yang bernama Rd. Anggana Suta, sedang berangkat menuju ke sebuah alas Sindang Kasih.
Adapun para senopati dari Bantarjati yang sudah ada di Monjot diantaranya :
v Ki Bagus Daisah
v Ki bagus Merat
v Ki bagus sena
v Ki Bagus Lejah
v Ki Bagus Kondur
v Ki Bagus Tarti
v Ki Bagus Maryem
v Ki Bagus Nairem
v Ki Bagus Udung
v Ki Bagus Arsitem
v Ki Bagus Yasa
v Ki Ageng Ciputih
v Dll.
Para Senopati dari bantarjati ini sedang menunggu kedatangan Rd. Anggana Suta, yang akan membantu peperangan nanti melawan Dalem Sumedang.
Alas Sindangkasih
Disuatu tempat di Alas Sindangkasih di Pohon Maja, Rd. Anggana Suta sudah tiba guna mencari pusaka peninggalan ayahnya, memang benar apa yang diceriterakan oleh Pangeran Lontang Jaya bahwa pusaka tersebut berada di bawah Pohon Maja, secara kebetulan Pohon Maja itu mempunyai satu biji buah, kemudian Rd. Anggana Suta mengambil pusaka, serta memetik buah Maja itu.
Berkenaan dengan itu datang segerombolan pasukan kuda, yakni, pasukan dari Sindangkasih yang dipimpi oleh Panembahan Wirabama dan Ki Ageng badori guna mencari buah Maja.
Nampaknya buah Maja yang dicari sudah berada ditangan seorang satria yakni Rd. Anggana Suta, lalu mereka merebutnya dengan paksa, namun Rd. Anggana Suta, lalu mereka merebutnya dengan paksa, namun Rd. Anggana Suta tidak memberikannya karena menurutnya mereka ini adalah orang-orang Sindangkasih, yang pada waktu dulu telah menghancurkan Kerajaan Wanayasa, maka dari pada memberikan buah Maja Rd. Anggana Suta menantang perang, yang kemudian terjadilah peperangan di alas Sindangkasih.
Dalam peperangan Rd. Anggana Suta tidak terlepas dari tunggangannya se-ekor kuda bernama Bujang Sangara, lalu keris pusaka pemberian Pangeran Lontang Jaya digunakannya, untuk menghantam pasukan dari Sindangkasih, akhirnya Rd. Anggana Suta berhasil mematahkan pasukan tersebut, bahkan menurut ceritera Ki Ageng Badori ditendang oleh kaki kuda Bujang Sangara yang ditunggangi oleh Rd. Anggana Suta, sampai melayang entah kemana.
Diceriterakan di sebuah tempat di pinggir Sungai Cimanuk, ada seorang wanita yang sedang melakukan tapa brata mereka adalah Dewi Sekar Taji yang berasal dari Kutamanggu melakukan tapa brata tidak lain ingin masuk Agama Islam.
Di suatu saat ada wahyu yang menyatakan kepada Dewi Sekar Taji bahwa tapa brata bisa selesai jika sudah ada orang jatuh disampingnya, rupanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Agung, yang pada akhirnya wahyu itu menjadi kenyataan Ki Ageng Badori yang di tendang oleh kuda Bujang Sangara, sewaktu peperangan di Alas Sindangkasih jatuh di pinggir Sungai Cimanuk tepat di samping Dewi Sekar Taji, yang sedang melakukan tapa brata.
Mendengar suara orang jatuh, kemudian Dewi Sekar Taji membuka matanya, ternyata benar yang jatuh di sampingnya adalah seorang senopati, begitu pula sebaliknya Ki Ageng Badori pun terkejut melihat ada seorang wanita yang sedang melakukan tapa brata sampai rambutnya kusut dan pakaiannya compang-camping.
Ki Ageng Badori lalu mengajak pada Dewi Sekar Taji, namun Dewi Sekar Taji menolaknya, karena keinginannya untuk mempelajari Agama Islam belum terkabulkan, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Ki Ageng Badori, keinginan Dewi Sekar Taji disanggupinya, namun Ki Ageng Badori meminta sebuah syarat untuk dilaksanakan oleh Dewi Sekar Taji, yaitu harus bisa mengambil Buah Maja yang ada di Alas Sindangkasih, Dewi Sekar Taji pun menyanggupi syarat itu, kemudian Dewi Sekar Taji pamit untuk menuju ke sebuah alas.
Sesampainya di Alas Sindangkasih, bertemu dengan seorang satria, yang bernama Rd. Anggana Suta, kemudian Dewi Sekar Taji meminta bantuan Rd. Anggana Suta mencari buah Maja.
Rd. Anggana Suta melihat seorang wanita seorang wanita yang rambutnya kusut dengan pakaian yang sudah compang-camping, nampaknya sangat tertarik, karena wajah Dewi Sekar Taji walaupun keadaan demikian masih kelihatan cantik, sampai – sampai hati Rd. Anggana Suta merasa jatuh cinta kepadanya.
Kemudian Rd. Anggana Suta menyerahkan buah Maja yang sudah berada ditangannya.
Betapa gembiranya perasaan hati Dewi Sekar Taji setelah mendapatkan buah Maja, dengan sangat berterima kasih kepada seorang kesatria yang gagah, arief serta bijaksana.
Kemudian Dewi Sekar Taji pamit kepada Rd. Anggana Suta untuk meninggalkan Alas Sindangkasih dengan membawa buah Maja, begitu juga halnya dengan Rd. Anggana Suta, keluar meninggalkan Alas itu, untuk meneruskan perjalanannya menuju daerah Monjot guna membantu orang-orang Bantarjati yang akan berperang melawan Dalem Sumedang.
Dewi Sekar Taji setelah berhasil membawa buah Maja, kemudian menemui Ki Ageng Badori yang sedang menunggunya setelah keduanya bertemu, kemudian Ki Ageng Badori mengajak untuk menghadap Pangeran Muhamad (Bupati Sindangkasih).
Sesampainya di pendopo nampak para senopati Sindangkasih sedang berkumpul, kemudian Dewi Sekar Taji menyerahkan buah Maja untuk dijadikan obat istri Bupati Sindangkasih (Siti Armilah) yang sedang sakit.
Pangeran Muhamad (Bupati Sindangkasih) merasa bangga dan berterima kasih kepada Dewi Sekar Taji terutama kepada Rd. Anggana Suta (Putra Kerajaan Wanayasa) yang telah menolongnya mendapatkan buah Maja.
Kemudian buah Maja itu di obatkan kepada istri Bupati (Siti Armilah) rupanya sudah menjadi kekuasaan-Nya begitu buah Maja di obatkan, Siti Armilah mendadak sembuh dari sakitnya yang sudah beberapa bulan dideritanya, betapa gembiranya Pangeran Muhamad (Bupati) melihat istrinya sudah sembuh, kemudian Pangeran Muhamad mengucapkan janji, bahwa di akhir peperangan Rd. Anggana Suta akan di ubah namanya dengan sebutan Ki Bagus Manuk, dan wilayah Wanayasa yang beberapa lama telah dikuasainya akan diserahkan kembali kepadanya.
Buah Maja yang telah dipakai obat, kemudian diserahkan kepada salah seorang senopati yakni Panembahan Wirabama, namun ketika hendak diterima tiba-tiba buah Maja itu jatuh ke tanah lalu menghilang seketika, melihat kejadian itu Panembahan Wirabama merasa heran dan malu, akhirnya Panembahan Wirabama pun ikut menghilang.
Melihat kejadian yang semakin mengherankan, Ki Ageng Badori mempunyai firasat, bahwa besek atau lusa setelah hilangnya masa kerajaan, nama Sindangkasih kelak akan dirubah dengan sebutan Majalengka.
Perubahan ini diambil dari suatu kejadian Buah Maja yang hilang, yaitu kata: “MAJA” diambil dari nama buah “Maja”, sedangkan “LENGKA” karena hilangnya tidak ditemukan (langka) maka sampai sekarang daerah tersebut dinamakan:
————————————– MAJALENGKA ——————————————
Tanah Monjot
Keadaan di tanah Monjot sedang terjadi perang campur antara Dalem Sumedang dengan Dalem Bantarjati, yang mana Bantarjati di bantu oleh Tegal Jambu, konon menurut ceritera peperangan di tanah Monjot memakan waktu ± 6 bulan, para senopati dari keduanya sudah banyak yang gugur, adapun para senopati dari Bantarjati yang telah gugur diantaranya :
F Ki Bagus Nariem
F Ki Bagus Tarti
F Ki Bagus Udung
F Ki bagus Rantiu
F Ki Bagus Solihin (Rd. Solihin)
Ki bagus Solihin kemudian dimakamkan dipinggir sungai Cimanuk, yang sekarang dikenal dengan sebutan “Buyut Jago”.
Rd. Anggana Suta begitu melihat keadaan sudah semakin buruk dengan telah banyaknya para senopati yang gugur, kemudian maju meladeni Pangeran Surya Dilaga, sambil menunggangi Kuda Bujang Sangara, begitu juga sebaliknya Pangeran Surya Dilaga-pun menunggangi Kuda Sandra Wuluh, akhirnya terjadi perang Patutunggalan, antara Rd. Anggana Suta melawan Pangeran Surya Dilaga.
Perang antara keduanya sama-sama kuat, sama-sama sakti, namun diantara salah satu dari mereka, akhirnya ada yang terdesak hingga ke tatar kaler tanah Monjot, kemudian Rd. Anggana Suta dengan kudanya meloncat kesebuah sungai Cimanuk sambil menggunakan tenaga dalamnya, untuk meringankan tubuhnya, sehingga jalan disungaipun tidak basah.
Kemudian Rd. Anggana Suta menarik Pangeran Surya Dilagahingga terjatuh dari kudanya, lalu kuda itu di pukul oleh Rd. Anggana Suta dengan Gada Pusaka peninggalan ayahnya, kemudian kuda Pangeran Surya Dilaga lari kea rah selatan, sampai di Karanganyar, lalu kuda itu mati di daerah tersebut, dan sampai sekarang daerah itu dinamakan Daerah Kuda Mati.
Pangeran Surya Dilaga (Bupati Sumedang) atau yang disebut Pangeran Cornel, setelah terlepas dari tunggangannya hampir tidak berdaya, ketika hendak dipukul oleh Gada Pusaka yang dibawa oleh Rd. Anggana Suta, kemudian Pangeran Surya Dilaga menyerah, dengan berjanji akan menyerahkan Tanah Sabandar,yang tadinya diakui sebagai wilayah Sumedang.
Setelah usai peperangan dan telah dibuatnya perjanjian, akhirnya para pemimpin itu kembali ke daerah masing-masing, namun Rd. Anggana Suta berangkat menuju kepertapaan Tari Kolot.
Pangeran Lontang Jaya pada waktu itu sedang menanam buah Pohon Jati di pinggiran pertapaan Tari Kolot, namun yang hidup hanya satu, (yang sampai sekarang berada dipinggir Buyut Subang, Desa Surawangi).
Berkenaan dengan itu para senopati di Tari Kolot, sedang bermusyawarah (merbayaksa) tidak lama kemudian datang seorang kesatria, yakni : Rd. Anggana Suata, mereka sengaja datang untuk menemui Pangeran Lontang Jaya, dengan tujuan untuk memberitahu, bahwa peperangan di tanah Monjot telah selesai, dan Dalem Sumedang yang di pimpin Pangeran Surya Dilaga alias Bupati Sumedang Pangeran Cornel, telah dapat dipatahkan / dikalahkan.
Betapa sangat gembiranya Pangeran Lontang Jaya mendengar keterangan dari Rd. Anggana Suta, Kemudian Pangeran Lontang Jaya berjanji akan mengangkat Rd. Anggana Suta untuk dijadikan penguasa di daerah Wanayasa, secara kebetulan Dalem Sumedang mengirim sepucuk surat kepada Patapaan Tari Kolot untuk di sampaikan kepada Rd. Anggana Suta bahwa daerah Wanayasa yang telah beberapa tahun dikuasai oleh Sumedang akan dikembalikannya, berkenaan dengan itu pula Dalem Bantarjati yang dipimpin Ki Bagus Rangin, juga mengirim sepucuk surat, bahwa Bantarjati akan tetap mengaku saudara (keluarga) bahkan Ki Bagus Rangin akan merubah nama Rd. Anggana Suta menjadi Ki Bagus Manuk.
Perubahan nama itu, karena keajaibannya sewaktu peperangan di Monjot, Rd. Anggana Suta bisa menyusuri sungai Cimanuk tanpa basah sedikitpun.
Pangeran Lontang Jaya setelah membaca keterangan dua buah pucuk surat itu, lalu tergugah dalam hatinya bahwa : besok atau lusa nama Wanayasa pun akan dirubah menjadi Jatiwangi, perubahan itu diambil dari sebuah Gada Pusaka peninggalan Kerajaan Wanayasa, yang terbuat dari Pohon Jati, namun jati itu mempunyai keanehan karena berbeda dengan jati-jati yang lainnya, jati itu mempunyai keharuman tersendiri, maka dapat disimpulkan bahwa kata :
JATI diambil dari Pohon Jati, sedangkan WANGI, kerana keharumannya, maka sampai sekarang daerah ini dinamakan :
———————————– JATIWANGI ———————————-
Itu diambil dari buku karamat desa yang diwariskan dari kuwu pertama tahun 1512
Majalengka Expo
Hari Jadi Kabupaten Majalengka, yang ke-523 di tahun 2013 tepatnya pada tanggal 07 Juni 2013 bertambahlah usianya. Dalam agenda hari jadi tersebut diadakan berbagai kegiatan terhitung mulai tanggal 18 Mei 2013 sampai akhir kegiatan pada tanggal 20 Juni 2013 mendatang yaitu malam tasyakuran yang bertempat di Pendopo Kab. Majalengka.
Salah satu dari agenda kegiatan dalam rangka hari jadi tersebut adalah Majalengka Expo 2013 yang telah dibuka oleh Bupati Majalengka, H. Sutrisno SE, M.Si., dan bertempat di Lapangan Pasar Lama Majalengka atau biasa dikenal dengan sebutan Pasar Lawas pada hari Rabu (05/06).
Pada sambutan penitia penyelenggara Majalengka Expo 2013 tersebut disampaikan oleh Kadis Disperindag Imam Pramudya, bahwa ini adalah salah satu rangkaian kegiatan hari jadi Majalengka yang ke-523 dengan maksud dan tujuan diadakan Majalengka Expo 2013 adalah sebagai sarana informasi kepada masyarakat untuk menyampaikan rencana dan hasil pembangunan di Kabupaten Majalengka yang di-isi dengan pemeran pembangunan juga sebagai ajang promosi produk unggulan Majalengka dan sebagai tempat hiburan ajang rekreasi warga Majalengka dengan memberikan hiburan atraksi hewan mamalia lumba-lumba berasal dari Jawa Tengah.
Bupati Majalengka, H. Sutrisno SE, M.Si., mengatakan, berdasarkan adanya usulan warga masyarakat Majalengka mengingat pelaksanaan hari jadi tahun lalu hanya diisi oleh kegiatan pameran pembangunannya saja namun ditahun 2013 Majalengka Expo juga memberikan sarana wahana hiburan rekreasi salah satunya adalah adanya atraksi hewan mamalia lumba-lumba agar masyarakat Majalengka bersama keluarganya dapat berkunjung dan menikmati sebagai bentuk kepedulian Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Majalengka sekaligus menyampaikan bukti dari pembangunan selama ini yang telah bisa dirasakan secara umum didalam kepemimpinan masa 5 tahun bersama “SUKA” hingga Majalengka kini bisa dikatakan menjadi Kota yang sesungguhnya.
Didalam acara yang berlangsung Bupati Majalengka, H. Sutrisno SE, M.Si., bersama Istri tercinta dan Wakil Bupati DR. H. Karna Sobahi M.MPd, segenap Unsur Muspida, Ketua DPRD, Pejabat Pemerintahan, Kapolres, Dandim 0617 Majalengka, Pimpinan BUMN dan BUMS, Sejumlah anak yatim dll menyaksikan atraksi lumba-lumba dan mengelilingi stand pemeran pembangunan didalam arena Majalengka Expo 2013
Makanan Khas di Kabupaten Majalengka
Gula Cakar, Gula Olahan Khas Majalengka
MAJALENGKA, (PRLM). Gula cakar mungkin tidak dikenal di daerah lain dan hanya di kenal di Kabupaten Majalengka. Gulanya berwarna merah berbentuk persegi ukurannya sekitar 3 cm X 4 Cm.
Gula tersebut terbuat dari gula putih dicampur soda atau jaman dulu dengan sabun beko yag berwarna kehitaman agar bisa mengembang, tak heran kalau gula ini berlubang namun lubang-lubangnya kecil, selain itu menggunakan jat pewarna yang pada umumya berwarna merah.
Gula ini biasa digunakan masyarakat Majalengka untuk menyeduh teh manis atau kopi tumbuk pahit, gulanya mudah larut hanya hitungan detik. Gula ini lebih banyak digunakan oleh masyarakat generasi tua atau masyarakat pinggiran yang fanatik akan gula untuk campuran minum teh dan kopi.
Namun bagi sebagian masyarakat juga ada yang sengaja memanfaatkan gula cakar ini untuk penyelenggaraan hajatan seperti yang dilakukan Ara warga Kelurahan Munjul dan Wawan warga Kelurahan Cijati. Mereka memilih gula cakar untuk para pekerjanya dengan alasan menggunakan gula tersebut lebih efektif dan efisien, karena ketika harus menyeduh kopi tinggal memasukkan satu gula ke dalam gelas kemudian dibanjur air, hanya dengan satu detik saja gula sudah larut.
Sebagian anak-anak ada yang sengaja memakan gula tersebut secara langsung dengan cara digigit sedikit demi sedikit karena gulanya sedikit keras.
Cara membuat gula cakar itu sendiri menurut beberapa pedagang adalah, gula putih kemudian di godok menggunakan zat pewarna makanan, kalau jaman dulu cianci. Saat menggodok dicampur dengan soda agar mengembang atau muncul pori-pori kasar. Jaman dulu untuk pengembangnya menggunakan sabun batangan seperti beko. Setelah itu dimasukkan ke loyang ukuran besar sekitar 1 m X 1 m atau ukuran lebih besar, kemudian dikerati saat masih hangat, jika tidak maka gula akan mengeras dan sulit dikerat.
Konsumen gulan cakar ini belakangan semakin terbatas di samping produsen gula inipun semakin sedikit terkait dengan semakin mahalnya harga gula dan bahan bakar, sehingga banyak produsen yang berhenti beroprasi.
Menurut keterangan Wawan, Nana, Usman dan Acim produsen gula cakar, dulu masyarakat yang memproduksi gula cakar di Majalengka cukup banyak. Di Majalengka Kulon saja lebih dari dua orang. Selain itu di Cibatu, Munjul, dan kelurahan Tonjong.
“Sekarang sih tinggal beberapa orang saja, paling di Tonjong, Cibatu, Munjul dan Majalengka, paling tidak lebih dari lima orang. Yang berjualan di psar juga jarang hanya pagi hari,” ungkap Wawan.
Tidak jelas siapa yang pertama kali membuat gula cakar tersebut, namun ada informasi yang menyebutkan orang pertama yang membuat gula cakar adalah Tong Teng di kelurahan Tonjong, setelah itu para pekerjanya mengembangkan usaha .
Wawan membuat gula cakar karena usaha turun temurun dari orang tuanya yang sudah membuat gulan cakar sejak tahun 1970 setelah bekerja di perusahaan gula cakar Tong Teng di Kelurahan Tonjong tahun 1965.
Buah Ginzu
Kabupaten Majalengka dikenal sebagai penghasil Mangga Gedong Gincu utama
di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. Karena tampilan yang memikat, rasa
enak dan legit serta harga yang cukup mahal, masyarakat Majalengka
menjulukinya sebagai “Mangga Keraton” atau mangga selera keraton. Dengan
demikian gedong buah gincu telah dicitrakan sebagai mangga untuk konsumsi
kalangan elit. Mangga gedong gincu berwarna kuning ke merah–merahan
dengan ciri khas bentuk buahnya kecil dan bulat jika dicium baunya
harum rasanya manis beraroma.
Daerah penghasil mangga yang cukup besar di Kabuapten Majalengka adalah Desa Pasir Muncang, Sida Mukti, Jati Serang, dan Cijuray.
Buah Duwet
Selain Buah Mangga, di Kabupaten
Majalengka juga terdapat buah Duwet
atau kita mengenalnya dengan sebutan Jamblang. Buah ini sebesar anggur
dengan warna keunguan. Selain menawarkan kesegaran rasa, buah ini
ternyata memiliki khasiat untuk mencegah kelebihan kolesterol dan obat
diabetes. Rasa buahnya manis sepat sehingga terkadang ada yang
menyantapnya dengan gula pasir.
Oncom Goreng bu POPON
Selain tempat Industri kecap tradisional,Kabupaten
Majalengka juga
terkenal dengan oncom gorengnya. Cara pembuatannya tidak terlalu
rumit. Oncom dipotong tipis-tipis agar ketika digoreng terasa lebih
renyah. Selanjutnya Oncom
digoreng di beri bawang goreng yang bikin harum aromanya. Salah satu produsen oncom goreng terletak di Desa Cijati,
Kec. Majalengka kulon, Kabupaten Majalengka. Renyahnya oncom goreng sangat
cocok untuk teman makan bakso/mie. Rp.27.500 /400 gr
Kecap Majalengka
Mungkin tidak kita kurang mendengar bahwa di Kabupaten
Majalengka juga terdapat
pembuatan kecap tradisional. Tahun 1980-an kecap Majalengka berada di
masa keemasannya. Industri kecap khas Majalengka didirikan oleh pasangan
suami-istri yang bernama H. Sa'ad dan Hj. Eroh sekitar pertengahan
tahun 1900-an. Tidak ada salahnya jika kita berkunjung ke Majalengka
membeli Kecap Tradisional H. Sa'ad sebagai oleh-oleh.
Rempeyek Palasah
Sudah kebiasaan kita orang sunda selalu makanan rempeyek atau gorengan
yang begitu renyah dengan komposisi yang pas bumbu-bumbu nya, punya
resep khas dan turun - temurun membuat lidah kita semakin asyik dan
ketagihan dengan rempeyek Hanny ini. dengan bahan-bahan yang berkualitas di jamin sehat dan halal 100% Harga Rp.180.000,-per black
Kuliner di Kabupaten Majalengka
KULINER NO TEPUNG KHAS KOTA ANGIN
Published 26/04/2013 | By Dewi Turgarini, S.S, MM.Par
Anda ingin mengetahui keberadaan Kota
Angin? Kota Angin yaitu sebuah kota di Jawa Barat yang bernama
Majalengka. Kota ini disebut kota angin karena letak geografis daerah
ini yang memang identik dengan angin yang cukup besar dengan intensitas
yang relatif sering. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta Kabupaten Sumedang di barat.
Kabupaten Majalengka, Jabar, memiliki
kompetensi daerah yang bervariasi dan dapat dibanggakan. Kompetensi yang
secara domain didasari oleh kapabilitas yang selama ini dimiliki
masyarakat . Kompetensi ini tumbuh dan berkembang dengan bertumpu pada
kemampuan dan keterampilan yang ada di masyarakat.
Kompetensi yang secara dominan didasari
oleh keunggulan sumberdaya sebagai bahan baku (Resource Based
Competency) dalam menciptakan nilai yang menjadi superioritas kompetitif
dalam kompetensinya. Dijelaskan, untuk kategori ini salah satunya yaitu
kompetensi yang berstandar kepada komoditi unggulan daerah. Dalam hal
ini komoditi yang dipilih adalah jagung, ubi jalar, jambu biji merah dan
tembakau yang penyebarannya meliputi wilayah Kecamatan Bantarujeg,
Maja, Argapura, Banjaran, Lemahsugih dan Majalengka. kegiatan festival
makanan dan minuman serta produk olahan lainnya dengan bahan baku lokal
jagung dan umbi-umbian.
Maksud diselenggarakan kegiatan ini
untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam upaya pengembangan
wisata kuliner khas daerah, menyebarluaskan informasi makanan khas
daerah kepada masyarakat dan merupakan salah satu sarana promosi
pariwisata bidang kuliner di tingkat lokal, regional dan nasional serta
mengapresiasi produk makanan daerah yang berpotensi serta memiliki nilai
tambah/ekonomis. Peserta mengapresiasikan bahan utama ubi ganyong
menjadi variasi makan unik yang tidak ada di pasaran. Antara lain
kue-kue berhiasan bunga, jus ubi ganyong, nasi ubi ganyong, dan beberapa
sayur berbahan ubi ganyong. Menurutnya, kegiatan ini merupakan alat
strategis mempertahankan pangan. Meskipun Majalengka tak pernah
kekurangan atau krisis pangan, lomba kali ini sangat bernilai. Dari
hasil ciptaan peserta, bisa menjadi pertimbangan Pemkab Majalengka dalam
membangun kekuatan di bidang makanan khas daerah. Misalnya ketika
Majalengka kekurangan pangan, maka bisa beralih ke bahan pokok ubi
ganyong. Ubi ganyong terancam punah di Majalengka. Hanya Jawa Barat dan
Jawa Tengah yang melestarikan ubi ganyong. Kalau tidak dikembangkan, dia
khawatir sulit mencari makanan pengganti ketika dilanda krisis beras.
Menu tradisional yang diperlihatkan peserta akan menggali kami dalam
menentukan ikon makanan khas Majalengka berbahan ubi ganyong (Penulis
adalahy Sani RF Mahasiswa Program Studi Manajemen Industri Katering).
Langganan:
Postingan (Atom)