Kamis, 12 September 2013

Sejarah Tempat tinggal ku.

Ini dia Desa Ligung, dimana tempat aku di lahirkan dan di besar kan oleh kedua orang tua ku..Desa ku ini lumayan jauh dari pusat Kabupaten Majalengka.Mari kita simak cerita sejarah desaku ini....

Jaman dahulu kala ada 3 orang masing-masing bernama Buyut Alimah, Buyut Rasmi dan Buyut Kawi. Buyut Alimah berasal dari Cirebon, Buyut Rasmi berasal dari Cirebon juga, sedangkan Buyut Kawi berasal dari Beusi. Tiga orang ini merupakan “kejaran” orang kompeni Belanda, juga tiga orang ini pernah mengikuti zaman perang disebut perang Kedongdong di bawah pimpinan Pangeran Untung Surapati dari Mataram yang bermaksud ingin mengusir Belanda. Kemudian Buyut Kawi ini mempunyai adik perempuan yang bernama Buyut Barang, sehingga Buyut Barang ini dinikai Oleh Buyut Sidum yang berasal dari Cisambeng.
Jadi, orang yang pertama menginjakkan kaki di Ligung ini hanya ada lima orang. Hanya saja yang dua orang yaitu Buyut Alimah dan Buyut Rasmi tinggal di hutan Bantarwaru yang sekarang disebut dengan Sawah Slamet yang artinya selamat dari kejaran kompeni Belanda. Kemudian yang tiga Buyut Kawi bertempat tinggal di Ligung, kemudian semakin lama semakin banyak pengunjung sehingga mencapai tujuh puluh tiga (73) Kepala Keluarga yang berdiri dari murid-muridnya sendiri. Pada waktu itu pada tahun 1731, kemudian diadakan musyawarah pembentukan Kepala Desa sehingga sepakat untuk memilih Buyut Alimah untuk menjadi Kepala Desa hanya saja pada waktu itu antara Ligung dan Bantarwaru hanya dikepalai satu Kepala Desa saja.
Dan yang memberi nama Desa Ligung sendiri yaitu Buyut Alimah, asal kata Ligung yaitu karena diambil dari FAMILI dan AGUNG. Pada waktu itu rumah dan pekarangan masih sedikit dan sebagian besar masih hutan.

Demografi

Mayoritas masyarakat Ligung menggunakan bahasa Jawa Cirebon

Peristiwa Penting Yang Terjadi di Ligung

  1. Pada tahun 1890 membangun sebuah pintu air besar yang dikenal sampai dengan sekarang dengan nama PUTERAN waktu itu Kepala Desanya Bapak Warja.
  2. Pada tahun 1901 diadakan penebangan hutan untuk dijadikan pesawahan dan pekarangan juga membangun Lumbung Negara, pada saat itu Kepala Desanyna Bapak Surangggandanu.
  3. Pada tahun 1917 memindahkan alun-alun desa dan Masjid yang asalnya dekat sungai Cikeruh yang sekarang menjadi pasar, waktu itu kepala Desanya Bapak DASMAR.
  4. Pada tahun 1926 melaksanakan Gotong Royong yang sekarang menjadi Kampung Loji dan Kedunganyar yang disponsori oleh Buyut Pemuruyan dan Buyut Mami waktu itu kepala Desanya SAKIM.
  5. Pada tahun 1950 pemindahan pasar yang asalnya berada di Blok Bengkok yang sekarang telah dijadikan SD (Sekolah Dasar) II Waktu itu kepala Desanya Bapak Suganda.
  6. Pada tahun 1982 terjadi pemekaran desa Ligung menjadi dua desa yaitu Desa Ligung Lor, waktu itu kepala Desanya Bapak Sahlan.
  7. Pada tahun 1986 diadakan listrik masuk desa waktu itu Kepala Desanya Bapak Darma.

Kepala Desa

  1. Buyut Alimah 1731-1750
  2. Banjur 1750-1769
  3. Erban 1769-1784
  4. Nasingkem 1784-1797
  5. Emar 1797-1810
  6. Rengga 1810-1825
  7. Askat 1825-1838
  8. Asdam 18521864
  9. Kandam 185-1864
  10. Genjot 1864-1880
  11. Warja 1880-1890
  12. Mire 1890-1894
  13. Dasem 1894-1899
  14. Surangganu 1899-1899
  15. Asnat 1909-1915
  16. Dasmar 1915-1915
  17. Sakim 1936-1933
  18. Warjan 1933-1936
  19. Warsa 1936-145
  20. Reja Suganda 1945-1952
  21. Dali 1952-1957
  22. Cariah 19571962
  23. Dasja 1962-1965
  24. Musa 1965-1979
  25. Sahlan 1979-1985
  26. M. Darma 1985-1988
  27. Drs A.M. Arianto 1988-1998
  28. Drs A.M. Arianto 1998-2000
  29. Odik Radi 2000-2001
  30. Gunawan 2001-2011
  31. Husaini 2011-2017

Kontoversi di Kabupaten Majalengka


Setiap menjelang perayaan hari jadi Majalengka yang diperingati 7 Juni selalu saja menjadi perdebatan dan perbincangan panjang bahkan menjadi sebuah polemik antara pro dan kontra. Sejarah Majalengka yang diformalkan melalui Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1982 tentang Hari jadi Majalengka yang jatuh pada 7 Juni 1490 masehi, kini ditentang oleh sebagian masyarakat, benarkah sudah setua inikah usia Majalengka ?
Sebelum versi resmi berdasarkan Perda Nomor 5 tahun 1982 yang menetapkan hari jadi pada 7 Juni dengan titi mangsa 1490, Majalengka juga punya hari jadi lain yang ditetapkan Pemkab 28 Oktober 1979, yakni 5 Januari dengan titi mangsa 1819, berdasarkan Staatsblad 23-1819. Namun Hari jadi 5 Januari, oleh Bupati Majalengka Muhammad S. Paindra, dicabut pada 25 Maret 1981, lalu ditetapkan 7 Juni hingga sekarang melalui Perda 5/1982. Pertanyaannya, kenapa bisa terjadi demikian ?.
Beberapa kalangan menilai penetapan Hari jadi Majalengka 7 Juni 1490 selain tidak kuat konstruksinya, juga mengandung banyak kelemahan berdasarkan historiografi serta dianggap tidak objektif dan faktual. Hal ini karena sejarah Majalengka saat ini adalah tidak lebih sebagai legenda atau mitos sejarah lisan, tanpa didukung sebuah data primer, sekunder, dan tersier sebagaimana kaidah ilmu sejarah. Menurut Tatang Gantika, mantan Kepala Kantor Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Majalengka menyatakan penelusuran sejarah tempo dulu sudah menghasilkan penemuan tentang berdirinya Kabupaten Majalengka, yakni berdasarkan Besluit van commisarissen-General over Nederlandsch-Indie, tanggal 5 januari 1819, nomor.2, (stbld.1819 no 9) yang berisi ketentuan tentang pembagian keresidenan (residentie) Cheribon dan luasnya keregenan-keregenan (regentschappen) dari kerisedenan tersebut.
Keresidenan Cheribon dibagi ke dalam lima keregenan (regentschappen), yakni : Cheribon, Begawan wettan, Madja, Galo dan Koeningan. “Berarti regentschappen Madja atau Kabupaten Majalengka terbentuk berdasarkan besluit tanggal 5 Januari 1819 yang merupakan awal berdirinya Kabupaten Majalengka, ” tegas Tatang beberapa waktu lalu kepada majalengka-online.com. Dalam besluit tersebut disebutkan untuk keregenan Madja, dengan batas wilayah : jalan pos besar dari tempat penyebrangan di karrangsambong ke timur naik, sampai sungai Tjiepietjong di sekitar Djamblang; sungai ini ke arah atas sampai desa Lengkong, dari sana batas pemisah dari Keregenan Radjo Galo sekarang ini sampai puncak gunung Tjermaij, selanjutnya ke arah selatan batas pemisah Keregenan Talaga sekarang ini, sampai sungai Tjijolang, dan lalu ke arah baratdaya dan barat batas pemisah yang sama sampai batas pemisah dari keresidenan Cheribon dengan keregenan Sumadang dan batas pemisah ini ke arah utara sampai jalan pos besar di penyebrangan di Karrangsambong.
“Berdasarkan uraian tersebut, bila dikaitkan dengan Hari Jadi Majalengka sesuai dengan Staatsblad 1819 No.9 tertanggal 5 Januari 1819 No.23 menunjukan bahwa usia Kabaupaten Majalengka baru mencapai 191 tahun dan bila dikaitkan dengan perubahan nama Kabupaten Madja menjadi Kabupaten Majalengka sesuai dengan Staatsblad 1840 No.7 tanggal 11 Februari 1840 No.2 menunjukan bahwa usia Kabupaten Majalengka baru mencapai 170 tahun, ” paparnya. Versi Legenda Dalam sebuah legenda disebutkan, Nyi Rambut Kasih dari Kerajaan Sindang Kasih (pusat pemerintahan Majalengka sekarang) jatuh cinta kepada Pangeran Muhammad yang keturunan Pangeran Panjunan, Cirebon. Syahdan, di Cirebon, dilanda wabah mematikan.
Penyakit itu hanya bisa disembuhkan dengan buah pahit Maja. Lalu pergilah Pangeran Muhammad ke sebelah barat Cirebon. Namun, Pangeran Muhammad harus berperang melawan seorang wanita, Nyi Rambut Kasih. Dalam peperangan, Nyi Rambut Kasih menghilang bersama buah maja. Sejak itu, daerah itu bernama Majalengka, berasal dari kata ” maja e langka” (buah Majanya tidak ada). Kisah Pangeran Muhammad yang selain mencari buah maja, sekaligus menyebarkan Islam, dipercaya cikal bakal pemberian nama Majalengka. Ini terjadi pada 10 Muharam 1412 tahun Hijriah, yang bila dikonversikan ke tahun Masehi jatuhnya pada 7 Juni 1490.
Versi lain berasal dari masa lebih muda, pada zaman kolonialisme Belanda. Disebutkan, di sebuah tempat di depan alun-alun (sekarang gedung DPRD Majalengka), ada pabrik kina “Maja L & Co”. Pabrik itu menjadi tanda bagi masyarakat. Lalu terjadi keseleo lidah, hingga “Maja L & Co” dipercepat dengan “Maja elen ko”, dan menjadi “Majalengka”. Dari dua kisah di atas, sejak tahun 1980 dibentuk tim sejarah Majalengka untuk menentukan hari jadi, yang digunakan ialah versi pertama. Ketika itu, tim merujuk kisah Pangeran Muhammad, berkiblat pada Cirebon yang juga masih ada kaitan penyebaran Islam oleh Sunan Gunung Djati. Benarkah banyak yang tidak suka dengan penetapan hari jadi berdasarkan pada dokumen Belanda tersebut, karena dianggap tidak nasionalis. Sementara data-data tertulis yang dimiliki saat ini berkaitan dengan sejarah daerah hanya pada dokumen-dokumen yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda.
Atau kita berpatokan dengan Hari Jadi Majalengka berdasarkan legenda atau mitos sebagaimana yang disebutkan diatas. Oleh karena adanya polemik yang memang masih mengundang banyak kontroversi ini, pemerintah daerah Majalengka telah membentuk sebuah “Tim Penelusuran dan Pengkajian Sejarah Majalengka ” atau disebut “Tim 22″ yang diketuai oleh Nina Lubis. Diperkirakan, tim tersebut penyusunannya akan rampung Oktober 2010 mendatang. Pembentukan Tim 22 tersebut tidak lain adalah meluruskan sejarah masa lalu Majalengka agar tidak intuisi imajinatif tetapi berdasarkan data dan fakta ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kita tunggu saja hasil penyusunan sejarah masa lalu Majalengka, apakah hari ini adalah akhir perayaan angka usia 520 tahun atau tetap tahun depan bertambah menjadi 521tahun atau malah usia Kabupaten Majalengka lebih mudah sebagaimana disebutkan dalam besluit yakni 170 tahun atau 192 tahun. Sumber: Majalengka-online.
Pada jaman dahulu tersebutlah sebuah kisah-kisah tang nyata. Dimana alam buana ini berisikan makhluk manusia yang paling sempurna.
Suatu kisah yang menceritakan negeri Jatiwangi yang dulunya masih dinamakan negeri Wanayasa, di negeri itu terdapat sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Wanayasa.
Kerajaan tersebut dipimpin oleh “Arya Jiteng Jatisawara”, beliau mempunyai seorang permainsuri bernama Dewi Basrini, dari perkawinannya mereka dikaruniai dua orang putra yakni:Putra pertama diberi nama Rd.Anggara Suta, sedangkan putra kedua diberi nama Rd.Solihin.
Di dalam kerajaan Wanayasa dibantu oleh lima irang utusan (Patih) diantaranya:
F Patih pertama bernama,Buyut Dopang Karanginan, yang berasal dari Bantar Jati. (Makam beliau berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang disebut sebagai Buyut Ranjeng).
F Patih ke dua bernama, Arya Pakalipan. (Makam beliau berada di tanah Jatisura, tang sekarang disebut sebagai Buyut Ranto).
F Patih ketiga bernama, Narta Wangsa yang berasal dari kerajaan Mataram dengan membawa Simbol Siliwangi. ( makam meraka berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang disebut sebagai Buyut Nambang / Ngalambang ).
F Patih Keempat bernama, Grena Sena.
( Makam mereka berada di tanah Jatiwangi, yang sekarang di sebut sebagai Buyut Lurah / Bungur).
F Patih ke lima bernama, Nyimas Ratu Ayu Nawang Litra yang berasal dari Talaga.
( Makam mereka berada di tanah Jatiwangi yang sekarang disebut sebagai Buyut Kopo).
Kerajaan Wanayasa yang letaknya berada disebalah utara wilayah Majalengka (sekarang) terkenal cukup makmur tidak kurang sandang pangan.
Sedang wilayah Majalengka sebelum diubah dulunya, dinamakan Daerah Sindang Kasih, di Daerah ini sebagai pimpinannya adalah seorang Bupati yang bernama Pangeran Muhamad, pada suatu hari ada seorang musafir yang singgah di daerah ini, mereka bernama Candi Maya dari Wanayasa yang ingin ikut bersama orang-orang islam di Sindangkasih, dan orang-orang islam di dearah tersebut dipimpin oleh :
ü Panembahan Wirabawa
ü Ki Ageng Badori
ü Patih Wirajaya
Sebagai panglima perang daerah Sindangkasih benama Patih Wijaya, mereka mengajak Candi Maya untuk bersatu, guna menghancurkan kerajaan di Wanayasa.
Maka tidak lama kemudian, terjadilah peperangan antara Sindangkasih dengan kerajaan Wanayasa, dalam sebuah peperangan tidak dapat diceriterakan, yang kemudian akhirnya Kerajaan Wanayasa dapat dihancurkan oleh Sindangkasih.
Kemudian Raja Wanayasa yang bernama Arya Jiteng Jatisawara, hilang ke alas Sindangkasih dengan membawa “Gada Pusaka” yang diberi nama Wikulit Pangpangindahan Godong. Gada tersebut dibawa-nya ke sebuah alas, Lalu diletakkannya dibawah pohon Maja.
PATAPAAN TARI KOLOT
Setelah hancurnya Kerajaan Wanayasa
Pangeran Lontang Jaya yang berasal dari keturunan Daeng Mataram, mendirikan sebuah pertapaan yang dinamakan Pertapaan Tari Kolot. ( Bekas Pertapaan Tari Kolot kini dinamakan Buyut Subang yang sekarang berada di tanah Surawangi ).
Pada waktu itu di Patapaan Tari Kolot, sedang bermusyawarah untuk memberi tahu kepada orang-orang pertapaan Tari Kolot, jangan sampai ikut memusuhi Daerah Sindangkasih, ketika sedang bermusyawarah, tiba-tiba datang beberapa tamu, mereka berasal dari daerah Tegal Jambu, diataranya Rd. Anggana Suta, Rd. Solihin serta ibunya Dewi Basrini.
Kehadiran mereka di petapaan Tari Kolot, tidak lain hanya untuk melaporkan kepada Pangeran Lontang Jaya bahwa di Tegal Jambu telah kedatangan seorang tamu yang bernama Ki Bagus Rangin dari Bantarjati, beliau minta bantuan kepada Tegal Jambu, sehubungan orang-orang Bantarjati ditantang oleh Dalem Sumedang, yakni Pangeran Surya Dilaga alias Bupati Sumedang ( Pangeran Cornel ).
Dalem Sumedang mendirikan sebuah perkemahan yang terletak di Kosambian, Pangeran Surya dilaga pada waktu itu terkenal dengan se-ekor kudanya yang sangat sakti, yang diberi nama “Aandra Wuluh”. Kuda itu sangat ampuh tidak mempan dengan pedang, sekalipun hasil kikiran gurinda.
Dalam perkemahan di kosambian dibantu oleh para senopati, diantaranya:
ü Embah Parung Jaya
ü Embah Kondang Hapa
ü Embah Sayang Hawu
ü Embah Terong Peot
ü Pangeran Kawilalan
ü Pangeran Cipta Wira
Para senopati tersebut disultani oleh Pangeran Suryadiwangsa.
TARI KOLOT
Dipertapaan Tari Kolot, pangeran Lontang Jaya setelah mendengar laporan dari orang-orang Tegal Jambu, beliau sangat gembira sekali, bahwa Ki bagus Rangin telah meminta bantuan mereka, kemudian Pangeran Lontang Jaya memberi amanat kepada salah satu dari mereka, yakni Rd. Anggana Suta, bahwa nanti dalam peperangan menghadapi dalem Sumedang yang dipimpin Pangeran Surya Dilaga, hendaknya menunggangi se-ekor kuda peninggalan kerajaan Wanayasa yang telah hancur pada peperangan melawan Sindangkasih.
Kuda peninggalan kerajaan wanayasa terkenal sakti, ampuh dan kuat, yang diberi nama “Bujang sangara”. Kemudian Pangeran Lontang Jaya, memerintahkan Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin untuk segara berangkat, dengan dibekali keris pusaka yang diebri nama Si Kober atau Si Conet Turangga Rendana, namun sebelum berangkat ke Monjot tempat dimana akan digunakan peperangan antara Bantarjati dengan Sumedang. Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin diperintahkan oleh Pangeran Lontang Jaya untuk menelusuri dahulu sebuah alas Sindang Kasih, dimana tempat itu terdapat sebuah Gada Pusaka peninggalan Kerajaan Wanayasa yang dibawa hilang ke alas tersebut dan kemudian diletakkannya di bawah pohon Maja.
Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin berangkat menuju timur barat dari pertapaan tari Kolong, dengan menunggangi se-ekor kuda peninggalan ayahnya, yang diberi nama Bujang Sangara.
Namun sesampainya di Oncog Dangoh, bertemu dengan orang-orang Marta Singa, yakni :
ü Rd. Arya Tinkin
ü Rd. Tejar Wilar
ü Pangeran Wira Kesumah
Pangeran Wira Kesumah adalah orang Luragung, putranya Ki Ageng Cipta Rasa, bertemu dengan Rd. Anggana Suta, lalu bertanya :
“Hei kesatria……! berasal dari mana, dan
mau kemana menunggangi se-ekor kuda?”.
Kemudian Rd. Anggana Suta menjawab :
“Kami sebenarnya orang Wanayasa, yang hendak
mengambil pusaka di alas Sindang Kasih”.
Begitu mendengar jawaban dari Rd. Anggana Suta, bahwa Mereka orang Wanayasa, pangeran Wira Kesumah, Arya Tinkin dan Tejar Wilar sangat marah, karena menurut kerajaan Wanayasa adalah musuh Cirebon, maka terjadilah peperangan di Oncog Dangoh.
Dalam sebuah peperangan meraka saling mengadu kekuatan, namun Rd. Anggana Suta berkat tunggangan kudanya yang sakti, Akhirnya orang-orang Marta Singa kocar-kacir oleh amukan Rd. Anggana suta, salah satu dari mereka, yakni Rd. Arya Tinkin ditendang oleh Kuda Bujang Sangara, sampai melayang lalu jatuh di Pasir Kembang. (yang sekarang di sebut Leuweung Gede)
Setelah mengadakan peperangan di Oncog Dangoh Rd. Anggana Suta meminta kepada adiknya Rd. Solihin, agar tidak mengikuti perjalanannya ke alas Sindang Kasih, dan diperintahkannya untuk menuju ke Monjot supaya bersatu dengan orang-orang Bantarjati yang dipimpin oleh Ki Bagus Rangin. Dengan sangat terpaksa Rd. Solihin berangkat sendiri sambil menangis dalam hatinya, karena perjalanan dari Oncog Dangoh ke Monjot cukup jauh.
Sesampainya di Monjot, kemudian Rd. solihin bersatu dengan orang-orang Bantarjati, lalu menceriterakan kepada para senopati bahwa kakaknya yang bernama Rd. Anggana Suta, sedang berangkat menuju ke sebuah alas Sindang Kasih.
Adapun para senopati dari Bantarjati yang sudah ada di Monjot diantaranya :
v Ki Bagus Daisah
v Ki bagus Merat
v Ki bagus sena
v Ki Bagus Lejah
v Ki Bagus Kondur
v Ki Bagus Tarti
v Ki Bagus Maryem
v Ki Bagus Nairem
v Ki Bagus Udung
v Ki Bagus Arsitem
v Ki Bagus Yasa
v Ki Ageng Ciputih
v Dll.
Para Senopati dari bantarjati ini sedang menunggu kedatangan Rd. Anggana Suta, yang akan membantu peperangan nanti melawan Dalem Sumedang.
Alas Sindangkasih
Disuatu tempat di Alas Sindangkasih di Pohon Maja, Rd. Anggana Suta sudah tiba guna mencari pusaka peninggalan ayahnya, memang benar apa yang diceriterakan oleh Pangeran Lontang Jaya bahwa pusaka tersebut berada di bawah Pohon Maja, secara kebetulan Pohon Maja itu mempunyai satu biji buah, kemudian Rd. Anggana Suta mengambil pusaka, serta memetik buah Maja itu.
Berkenaan dengan itu datang segerombolan pasukan kuda, yakni, pasukan dari Sindangkasih yang dipimpi oleh Panembahan Wirabama dan Ki Ageng badori guna mencari buah Maja.
Nampaknya buah Maja yang dicari sudah berada ditangan seorang satria yakni Rd. Anggana Suta, lalu mereka merebutnya dengan paksa, namun Rd. Anggana Suta, lalu mereka merebutnya dengan paksa, namun Rd. Anggana Suta tidak memberikannya karena menurutnya mereka ini adalah orang-orang Sindangkasih, yang pada waktu dulu telah menghancurkan Kerajaan Wanayasa, maka dari pada memberikan buah Maja Rd. Anggana Suta menantang perang, yang kemudian terjadilah peperangan di alas Sindangkasih.
Dalam peperangan Rd. Anggana Suta tidak terlepas dari tunggangannya se-ekor kuda bernama Bujang Sangara, lalu keris pusaka pemberian Pangeran Lontang Jaya digunakannya, untuk menghantam pasukan dari Sindangkasih, akhirnya Rd. Anggana Suta berhasil mematahkan pasukan tersebut, bahkan menurut ceritera Ki Ageng Badori ditendang oleh kaki kuda Bujang Sangara yang ditunggangi oleh Rd. Anggana Suta, sampai melayang entah kemana.
Diceriterakan di sebuah tempat di pinggir Sungai Cimanuk, ada seorang wanita yang sedang melakukan tapa brata mereka adalah Dewi Sekar Taji yang berasal dari Kutamanggu melakukan tapa brata tidak lain ingin masuk Agama Islam.
Di suatu saat ada wahyu yang menyatakan kepada Dewi Sekar Taji bahwa tapa brata bisa selesai jika sudah ada orang jatuh disampingnya, rupanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Agung, yang pada akhirnya wahyu itu menjadi kenyataan Ki Ageng Badori yang di tendang oleh kuda Bujang Sangara, sewaktu peperangan di Alas Sindangkasih jatuh di pinggir Sungai Cimanuk tepat di samping Dewi Sekar Taji, yang sedang melakukan tapa brata.
Mendengar suara orang jatuh, kemudian Dewi Sekar Taji membuka matanya, ternyata benar yang jatuh di sampingnya adalah seorang senopati, begitu pula sebaliknya Ki Ageng Badori pun terkejut melihat ada seorang wanita yang sedang melakukan tapa brata sampai rambutnya kusut dan pakaiannya compang-camping.
Ki Ageng Badori lalu mengajak pada Dewi Sekar Taji, namun Dewi Sekar Taji menolaknya, karena keinginannya untuk mempelajari Agama Islam belum terkabulkan, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Ki Ageng Badori, keinginan Dewi Sekar Taji disanggupinya, namun Ki Ageng Badori meminta sebuah syarat untuk dilaksanakan oleh Dewi Sekar Taji, yaitu harus bisa mengambil Buah Maja yang ada di Alas Sindangkasih, Dewi Sekar Taji pun menyanggupi syarat itu, kemudian Dewi Sekar Taji pamit untuk menuju ke sebuah alas.
Sesampainya di Alas Sindangkasih, bertemu dengan seorang satria, yang bernama Rd. Anggana Suta, kemudian Dewi Sekar Taji meminta bantuan Rd. Anggana Suta mencari buah Maja.
Rd. Anggana Suta melihat seorang wanita seorang wanita yang rambutnya kusut dengan pakaian yang sudah compang-camping, nampaknya sangat tertarik, karena wajah Dewi Sekar Taji walaupun keadaan demikian masih kelihatan cantik, sampai – sampai hati Rd. Anggana Suta merasa jatuh cinta kepadanya.
Kemudian Rd. Anggana Suta menyerahkan buah Maja yang sudah berada ditangannya.
Betapa gembiranya perasaan hati Dewi Sekar Taji setelah mendapatkan buah Maja, dengan sangat berterima kasih kepada seorang kesatria yang gagah, arief serta bijaksana.
Kemudian Dewi Sekar Taji pamit kepada Rd. Anggana Suta untuk meninggalkan Alas Sindangkasih dengan membawa buah Maja, begitu juga halnya dengan Rd. Anggana Suta, keluar meninggalkan Alas itu, untuk meneruskan perjalanannya menuju daerah Monjot guna membantu orang-orang Bantarjati yang akan berperang melawan Dalem Sumedang.
Dewi Sekar Taji setelah berhasil membawa buah Maja, kemudian menemui Ki Ageng Badori yang sedang menunggunya setelah keduanya bertemu, kemudian Ki Ageng Badori mengajak untuk menghadap Pangeran Muhamad (Bupati Sindangkasih).
Sesampainya di pendopo nampak para senopati Sindangkasih sedang berkumpul, kemudian Dewi Sekar Taji menyerahkan buah Maja untuk dijadikan obat istri Bupati Sindangkasih (Siti Armilah) yang sedang sakit.
Pangeran Muhamad (Bupati Sindangkasih) merasa bangga dan berterima kasih kepada Dewi Sekar Taji terutama kepada Rd. Anggana Suta (Putra Kerajaan Wanayasa) yang telah menolongnya mendapatkan buah Maja.
Kemudian buah Maja itu di obatkan kepada istri Bupati (Siti Armilah) rupanya sudah menjadi kekuasaan-Nya begitu buah Maja di obatkan, Siti Armilah mendadak sembuh dari sakitnya yang sudah beberapa bulan dideritanya, betapa gembiranya Pangeran Muhamad (Bupati) melihat istrinya sudah sembuh, kemudian Pangeran Muhamad mengucapkan janji, bahwa di akhir peperangan Rd. Anggana Suta akan di ubah namanya dengan sebutan Ki Bagus Manuk, dan wilayah Wanayasa yang beberapa lama telah dikuasainya akan diserahkan kembali kepadanya.
Buah Maja yang telah dipakai obat, kemudian diserahkan kepada salah seorang senopati yakni Panembahan Wirabama, namun ketika hendak diterima tiba-tiba buah Maja itu jatuh ke tanah lalu menghilang seketika, melihat kejadian itu Panembahan Wirabama merasa heran dan malu, akhirnya Panembahan Wirabama pun ikut menghilang.
Melihat kejadian yang semakin mengherankan, Ki Ageng Badori mempunyai firasat, bahwa besek atau lusa setelah hilangnya masa kerajaan, nama Sindangkasih kelak akan dirubah dengan sebutan Majalengka.
Perubahan ini diambil dari suatu kejadian Buah Maja yang hilang, yaitu kata: “MAJA” diambil dari nama buah “Maja”, sedangkan “LENGKA” karena hilangnya tidak ditemukan (langka) maka sampai sekarang daerah tersebut dinamakan:
————————————– MAJALENGKA ——————————————
Tanah Monjot
Keadaan di tanah Monjot sedang terjadi perang campur antara Dalem Sumedang dengan Dalem Bantarjati, yang mana Bantarjati di bantu oleh Tegal Jambu, konon menurut ceritera peperangan di tanah Monjot memakan waktu ± 6 bulan, para senopati dari keduanya sudah banyak yang gugur, adapun para senopati dari Bantarjati yang telah gugur diantaranya :
F Ki Bagus Nariem
F Ki Bagus Tarti
F Ki Bagus Udung
F Ki bagus Rantiu
F Ki Bagus Solihin (Rd. Solihin)
Ki bagus Solihin kemudian dimakamkan dipinggir sungai Cimanuk, yang sekarang dikenal dengan sebutan “Buyut Jago”.
Rd. Anggana Suta begitu melihat keadaan sudah semakin buruk dengan telah banyaknya para senopati yang gugur, kemudian maju meladeni Pangeran Surya Dilaga, sambil menunggangi Kuda Bujang Sangara, begitu juga sebaliknya Pangeran Surya Dilaga-pun menunggangi Kuda Sandra Wuluh, akhirnya terjadi perang Patutunggalan, antara Rd. Anggana Suta melawan Pangeran Surya Dilaga.
Perang antara keduanya sama-sama kuat, sama-sama sakti, namun diantara salah satu dari mereka, akhirnya ada yang terdesak hingga ke tatar kaler tanah Monjot, kemudian Rd. Anggana Suta dengan kudanya meloncat kesebuah sungai Cimanuk sambil menggunakan tenaga dalamnya, untuk meringankan tubuhnya, sehingga jalan disungaipun tidak basah.
Kemudian Rd. Anggana Suta menarik Pangeran Surya Dilagahingga terjatuh dari kudanya, lalu kuda itu di pukul oleh Rd. Anggana Suta dengan Gada Pusaka peninggalan ayahnya, kemudian kuda Pangeran Surya Dilaga lari kea rah selatan, sampai di Karanganyar, lalu kuda itu mati di daerah tersebut, dan sampai sekarang daerah itu dinamakan Daerah Kuda Mati.
Pangeran Surya Dilaga (Bupati Sumedang) atau yang disebut Pangeran Cornel, setelah terlepas dari tunggangannya hampir tidak berdaya, ketika hendak dipukul oleh Gada Pusaka yang dibawa oleh Rd. Anggana Suta, kemudian Pangeran Surya Dilaga menyerah, dengan berjanji akan menyerahkan Tanah Sabandar,yang tadinya diakui sebagai wilayah Sumedang.
Setelah usai peperangan dan telah dibuatnya perjanjian, akhirnya para pemimpin itu kembali ke daerah masing-masing, namun Rd. Anggana Suta berangkat menuju kepertapaan Tari Kolot.
Pangeran Lontang Jaya pada waktu itu sedang menanam buah Pohon Jati di pinggiran pertapaan Tari Kolot, namun yang hidup hanya satu, (yang sampai sekarang berada dipinggir Buyut Subang, Desa Surawangi).
Berkenaan dengan itu para senopati di Tari Kolot, sedang bermusyawarah (merbayaksa) tidak lama kemudian datang seorang kesatria, yakni : Rd. Anggana Suata, mereka sengaja datang untuk menemui Pangeran Lontang Jaya, dengan tujuan untuk memberitahu, bahwa peperangan di tanah Monjot telah selesai, dan Dalem Sumedang yang di pimpin Pangeran Surya Dilaga alias Bupati Sumedang Pangeran Cornel, telah dapat dipatahkan / dikalahkan.
Betapa sangat gembiranya Pangeran Lontang Jaya mendengar keterangan dari Rd. Anggana Suta, Kemudian Pangeran Lontang Jaya berjanji akan mengangkat Rd. Anggana Suta untuk dijadikan penguasa di daerah Wanayasa, secara kebetulan Dalem Sumedang mengirim sepucuk surat kepada Patapaan Tari Kolot untuk di sampaikan kepada Rd. Anggana Suta bahwa daerah Wanayasa yang telah beberapa tahun dikuasai oleh Sumedang akan dikembalikannya, berkenaan dengan itu pula Dalem Bantarjati yang dipimpin Ki Bagus Rangin, juga mengirim sepucuk surat, bahwa Bantarjati akan tetap mengaku saudara (keluarga) bahkan Ki Bagus Rangin akan merubah nama Rd. Anggana Suta menjadi Ki Bagus Manuk.
Perubahan nama itu, karena keajaibannya sewaktu peperangan di Monjot, Rd. Anggana Suta bisa menyusuri sungai Cimanuk tanpa basah sedikitpun.
Pangeran Lontang Jaya setelah membaca keterangan dua buah pucuk surat itu, lalu tergugah dalam hatinya bahwa : besok atau lusa nama Wanayasa pun akan dirubah menjadi Jatiwangi, perubahan itu diambil dari sebuah Gada Pusaka peninggalan Kerajaan Wanayasa, yang terbuat dari Pohon Jati, namun jati itu mempunyai keanehan karena berbeda dengan jati-jati yang lainnya, jati itu mempunyai keharuman tersendiri, maka dapat disimpulkan bahwa kata :
JATI diambil dari Pohon Jati, sedangkan WANGI, kerana keharumannya, maka sampai sekarang daerah ini dinamakan :
———————————– JATIWANGI ———————————-
Itu diambil dari buku karamat desa yang diwariskan dari kuwu pertama tahun 1512

Majalengka Expo


Hari Jadi Kabupaten Majalengka, yang ke-523 di tahun 2013 tepatnya pada tanggal 07 Juni 2013 bertambahlah usianya. Dalam agenda hari jadi tersebut diadakan berbagai kegiatan terhitung mulai tanggal 18 Mei 2013 sampai akhir kegiatan pada tanggal 20 Juni 2013 mendatang yaitu malam tasyakuran yang bertempat di Pendopo Kab. Majalengka.
Salah satu dari agenda kegiatan dalam rangka hari jadi tersebut adalah Majalengka Expo 2013 yang telah dibuka oleh Bupati Majalengka, H. Sutrisno SE, M.Si., dan bertempat di Lapangan Pasar Lama Majalengka atau biasa dikenal dengan sebutan Pasar Lawas pada hari Rabu (05/06).
Pada sambutan penitia penyelenggara Majalengka Expo 2013 tersebut disampaikan oleh Kadis Disperindag Imam Pramudya, bahwa ini adalah salah satu rangkaian kegiatan hari jadi Majalengka yang ke-523 dengan maksud dan tujuan diadakan Majalengka Expo 2013 adalah sebagai sarana informasi kepada masyarakat untuk menyampaikan rencana dan hasil pembangunan di Kabupaten Majalengka yang di-isi dengan pemeran pembangunan juga sebagai ajang promosi produk unggulan Majalengka dan sebagai tempat hiburan ajang rekreasi warga Majalengka dengan memberikan hiburan atraksi hewan mamalia lumba-lumba berasal dari Jawa Tengah.
Bupati Majalengka, H. Sutrisno SE, M.Si., mengatakan, berdasarkan adanya usulan warga masyarakat Majalengka mengingat pelaksanaan hari jadi tahun lalu hanya diisi oleh kegiatan pameran pembangunannya saja namun ditahun 2013 Majalengka Expo juga memberikan sarana wahana hiburan rekreasi salah satunya adalah adanya atraksi hewan mamalia lumba-lumba agar masyarakat Majalengka bersama keluarganya dapat berkunjung dan menikmati sebagai bentuk kepedulian Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Majalengka sekaligus menyampaikan bukti dari pembangunan selama ini yang telah bisa dirasakan secara umum didalam kepemimpinan masa 5 tahun bersama “SUKA” hingga Majalengka kini bisa dikatakan menjadi Kota yang sesungguhnya.
Didalam acara yang berlangsung Bupati Majalengka, H. Sutrisno SE, M.Si., bersama Istri tercinta dan Wakil Bupati DR. H. Karna Sobahi M.MPd, segenap Unsur Muspida, Ketua DPRD, Pejabat Pemerintahan, Kapolres, Dandim 0617 Majalengka, Pimpinan BUMN dan BUMS, Sejumlah anak yatim dll menyaksikan atraksi lumba-lumba dan mengelilingi stand pemeran pembangunan didalam arena Majalengka Expo 2013

Makanan Khas di Kabupaten Majalengka



Gula Cakar, Gula Olahan Khas Majalengka

TATI PURNAWATI/"PRLM"
MAJALENGKA, (PRLM). Gula cakar mungkin tidak dikenal di daerah lain dan hanya di kenal di Kabupaten Majalengka. Gulanya berwarna merah berbentuk persegi ukurannya sekitar 3 cm X 4 Cm.
Gula tersebut terbuat dari gula putih dicampur soda atau jaman dulu dengan sabun beko yag berwarna kehitaman agar bisa mengembang, tak heran kalau gula ini berlubang namun lubang-lubangnya kecil, selain itu menggunakan jat pewarna yang pada umumya berwarna merah.
Gula ini biasa digunakan masyarakat Majalengka untuk menyeduh teh manis atau kopi tumbuk pahit, gulanya mudah larut hanya hitungan detik. Gula ini lebih banyak digunakan oleh masyarakat generasi tua atau masyarakat pinggiran yang fanatik akan gula untuk campuran minum teh dan kopi.
Namun bagi sebagian masyarakat juga ada yang sengaja memanfaatkan gula cakar ini untuk penyelenggaraan hajatan seperti yang dilakukan Ara warga Kelurahan Munjul dan Wawan warga Kelurahan Cijati. Mereka memilih gula cakar untuk para pekerjanya dengan alasan menggunakan gula tersebut lebih efektif dan efisien, karena ketika harus menyeduh kopi tinggal memasukkan satu gula ke dalam gelas kemudian dibanjur air, hanya dengan satu detik saja gula sudah larut.
Sebagian anak-anak ada yang sengaja memakan gula tersebut secara langsung dengan cara digigit sedikit demi sedikit karena gulanya sedikit keras.
Cara membuat gula cakar itu sendiri menurut beberapa pedagang adalah, gula putih kemudian di godok menggunakan zat pewarna makanan, kalau jaman dulu cianci. Saat menggodok dicampur dengan soda agar mengembang atau muncul pori-pori kasar. Jaman dulu untuk pengembangnya menggunakan sabun batangan seperti beko. Setelah itu dimasukkan ke loyang ukuran besar sekitar 1 m X 1 m atau ukuran lebih besar, kemudian dikerati saat masih hangat, jika tidak maka gula akan mengeras dan sulit dikerat.
Konsumen gulan cakar ini belakangan semakin terbatas di samping produsen gula inipun semakin sedikit terkait dengan semakin mahalnya harga gula dan bahan bakar, sehingga banyak produsen yang berhenti beroprasi.
Menurut keterangan Wawan, Nana, Usman dan Acim produsen gula cakar, dulu masyarakat yang memproduksi gula cakar di Majalengka cukup banyak. Di Majalengka Kulon saja lebih dari dua orang. Selain itu di Cibatu, Munjul, dan kelurahan Tonjong.
“Sekarang sih tinggal beberapa orang saja, paling di Tonjong, Cibatu, Munjul dan Majalengka, paling tidak lebih dari lima orang. Yang berjualan di psar juga jarang hanya pagi hari,” ungkap Wawan.
Tidak jelas siapa yang pertama kali membuat gula cakar tersebut, namun ada informasi yang menyebutkan orang pertama yang membuat gula cakar adalah Tong Teng di kelurahan Tonjong, setelah itu para pekerjanya mengembangkan usaha .
Wawan membuat gula cakar karena usaha turun temurun dari orang tuanya yang sudah membuat gulan cakar sejak tahun 1970 setelah bekerja di perusahaan gula cakar Tong Teng di Kelurahan Tonjong tahun 1965.

Buah Ginzu 


Kabupaten Majalengka dikenal sebagai penghasil Mangga Gedong Gincu utama di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. Karena tampilan yang memikat, rasa enak dan legit serta harga yang cukup mahal, masyarakat Majalengka menjulukinya sebagai “Mangga Keraton” atau mangga selera keraton. Dengan demikian gedong buah gincu telah dicitrakan sebagai mangga untuk konsumsi kalangan elit. Mangga gedong gincu berwarna kuning ke merah–merahan dengan ciri khas bentuk buahnya kecil dan bulat jika dicium baunya harum rasanya manis beraroma.
Daerah penghasil mangga yang cukup besar di Kabuapten Majalengka adalah Desa Pasir Muncang, Sida Mukti, Jati Serang, dan Cijuray.


Buah Duwet

Selain Buah Mangga, di Kabupaten Majalengka  juga terdapat buah Duwet atau kita mengenalnya dengan sebutan Jamblang. Buah ini sebesar anggur dengan warna keunguan. Selain menawarkan kesegaran rasa, buah ini ternyata memiliki khasiat untuk mencegah kelebihan kolesterol dan obat diabetes. Rasa buahnya manis sepat sehingga terkadang ada yang menyantapnya dengan gula pasir.




Oncom Goreng bu POPON

Selain tempat Industri kecap tradisional,Kabupaten Majalengka   juga terkenal dengan oncom gorengnya. Cara pembuatannya tidak terlalu rumit. Oncom dipotong tipis-tipis agar ketika digoreng terasa lebih renyah. Selanjutnya Oncom digoreng di beri bawang goreng yang bikin harum aromanya. Salah satu produsen oncom goreng terletak di Desa Cijati, Kec. Majalengka kulon, Kabupaten Majalengka. Renyahnya oncom goreng sangat cocok untuk teman makan bakso/mie. Rp.27.500 /400 gr



 Kecap Majalengka

Mungkin tidak kita kurang mendengar bahwa di Kabupaten Majalengka   juga terdapat pembuatan kecap tradisional. Tahun 1980-an kecap Majalengka berada di masa keemasannya. Industri kecap khas Majalengka didirikan oleh pasangan suami-istri yang bernama H. Sa'ad dan Hj. Eroh sekitar pertengahan tahun 1900-an. Tidak ada salahnya jika kita berkunjung ke Majalengka membeli Kecap Tradisional H. Sa'ad sebagai oleh-oleh.



Rempeyek Palasah

Sudah kebiasaan kita orang sunda selalu makanan rempeyek atau gorengan yang begitu renyah dengan komposisi yang pas bumbu-bumbu nya, punya resep khas dan turun - temurun membuat lidah kita semakin asyik dan ketagihan dengan rempeyek Hanny ini. dengan bahan-bahan yang berkualitas di jamin sehat dan halal 100% Harga  Rp.180.000,-per black

Kuliner di Kabupaten Majalengka



KULINER NO TEPUNG KHAS KOTA ANGIN

m2
Anda ingin mengetahui keberadaan Kota Angin? Kota Angin yaitu sebuah kota di Jawa Barat yang bernama Majalengka. Kota ini disebut kota angin karena letak geografis daerah ini yang memang identik dengan angin yang cukup besar dengan intensitas yang relatif sering. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta Kabupaten Sumedang di barat.
Kabupaten Majalengka, Jabar, memiliki kompetensi daerah yang bervariasi dan dapat dibanggakan. Kompetensi yang secara domain didasari oleh kapabilitas yang selama ini dimiliki masyarakat . Kompetensi ini tumbuh dan berkembang dengan bertumpu pada kemampuan dan keterampilan yang ada di masyarakat.
Kompetensi yang secara dominan didasari oleh keunggulan sumberdaya sebagai bahan baku (Resource Based Competency) dalam menciptakan nilai yang menjadi superioritas kompetitif dalam kompetensinya. Dijelaskan, untuk kategori ini salah satunya yaitu kompetensi yang berstandar kepada komoditi unggulan daerah. Dalam hal ini komoditi yang dipilih adalah jagung, ubi jalar, jambu biji merah dan tembakau yang penyebarannya meliputi wilayah Kecamatan Bantarujeg, Maja, Argapura, Banjaran, Lemahsugih dan Majalengka. kegiatan festival makanan dan minuman serta produk olahan lainnya dengan bahan baku lokal jagung dan umbi-umbian.
m1
Maksud diselenggarakan kegiatan ini untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam upaya pengembangan wisata kuliner khas daerah, menyebarluaskan informasi makanan khas daerah kepada masyarakat dan merupakan salah satu sarana promosi pariwisata bidang kuliner di tingkat lokal, regional dan nasional serta mengapresiasi produk makanan daerah yang berpotensi serta memiliki nilai tambah/ekonomis. Peserta mengapresiasikan bahan utama ubi ganyong menjadi variasi makan unik yang tidak ada di pasaran. Antara lain kue-kue berhiasan bunga, jus ubi ganyong, nasi ubi ganyong, dan beberapa sayur berbahan ubi ganyong. Menurutnya, kegiatan ini merupakan alat strategis mempertahankan pangan. Meskipun Majalengka tak pernah kekurangan atau krisis pangan, lomba kali ini sangat bernilai. Dari hasil ciptaan peserta, bisa menjadi pertimbangan Pemkab Majalengka dalam membangun kekuatan di bidang makanan khas daerah. Misalnya ketika Majalengka kekurangan pangan, maka bisa beralih ke bahan pokok ubi ganyong. Ubi ganyong terancam punah di Majalengka. Hanya Jawa Barat dan Jawa Tengah yang melestarikan ubi ganyong. Kalau tidak dikembangkan, dia khawatir sulit mencari makanan pengganti ketika dilanda krisis beras. Menu tradisional yang diperlihatkan peserta akan menggali kami dalam menentukan ikon makanan khas Majalengka berbahan ubi ganyong (Penulis adalahy Sani RF Mahasiswa Program Studi Manajemen Industri Katering).

Kesenian yang ada di Kabupaten Majalengka

GAOK

Kesenian “ Gaok “ apabila  diamati dalam cara penampilannya merupakan seni tradisional yang telah mengalami singkritisme antara nilai-nilai budaya etnis sunda buhun dan budaya bernuansa islam yang dibawa dari cirebon. Misalnya dapat diamati ketika dalam pertunjukan, ternyata selalu diawali dengan bahasa sunda, tetapi gayanya terkadang seperti orang yang sedang mengumandangkan adzan, kemudian busana yang dikenakan para pemainnya adalah busana khas sunda.
Seni ini mulai ada dan berkembang di majalengka di perkirakan sejak setalah masuknya Agama Islam di wilayah Kabupaten Majalengka yaitu sekitar abad ke 15 ketika pangeran Mehammad berusaha menyebarkan ajaran islam, yang dilaksanakan sebagai upaya yang dipandang strategis dalam dakwah islam. Hingga sekarang seni tradisonal Gaok masih ada yaitu yang dikembangkan di desa Kulur Kecamatan Majalengka oleh seorang seniman bernama Sabda Wangsaharja sejak sekitar tahun 1920.
Kesenian tersebut termasuk seni sastra jenis “ mamacan “ (membaca tekx) atau juga disebut wawacan singkatan dari wawar ka anu acan (memberitahu kepada yang belum mengetahui), yang disuguhkan tanpa penggung pada acara seperti keperluan ritual atau upacara adat yang umumnya dilaksanakan ketika  “ ngayun “ (acara kelahiran bayi ) dengan cara memaparkan cerita seperti Babad Cirebon yang dilantunkan melalui vokal para pemain yang berjumlah antara empat hinga enam rang bahkan mungkin lebih, dengan busana berupa kampret/ toro lengkap dengan ikat kepala, sipimpin oleh seorang dalang/pengawawit dan juru mamaos, diatur berdasarkan urutan; (1) tatalu; (2) lalaguan dan (3) tarian; serta (4) pertunjukan. Adapun alat musik yang digunakan adalah (1) Gong Buyung dan (2) Kecrek dari Bambu. Durasi pemain biasanya berlangsung semalam suntuk. Sekarang durasinya hanya sekitar dua jam saja, dimana para pemainnya secara bergantian melantunkan tembang dengan suarayang keras sehingga dinamakan ‘ Gaok “ yang diambil dari kata “ ngagorowok “ (berteriak) dengan bentuk pupuh atau kakawen.
Kesenian Gaok di Desa Kulur Kecamatan Majalengka saat ini dipimpin oleh E. Wangsadiharja, tersebar hingga ke beberapa desa Kecamatan Majalengka dan Cigasong. Sebelum kesenian Gaok dimulai diadakan upacara “ susuguhan “ (memberikan sesajen kepada para leluhur) berupa makanan dan minuman sisertai pembakaran kemenyan.
Menurut kurun waktu nya seni Gaok terbagi dua macam, yaitu (1) Buhun yang mengisahkan zaman dahulu dan; (2) Galur yang mengisahkan kehidupan manusia pada zaman sekarang.


SAMPYONG
Pada tahun 1960 di daera Cibodas Kecamatan Majalengka tumbuh sebuah permainan rakyat yang dikenal dengan ujungan. Permainan ini merupakan permainan adu ketangkassan dan kekuatan memukul dan dipukul dengan mengunakan alat yang terbuat dari kayu atau rotan berukuran 60 cm. Pemain terdiri atas dua orang yang saling berhadapan, baik laki-laki maupun perempuan, dipimpin oleh seorang wasit yang disebut malandang. Kedua pemain menggunakan teregos, yaitu tutup kepala yang terbuat dari kain yang diisi dengan bahan-bahan empuk sebagai pelindung kepala. Tutup kepala demikian dikenal pula dengan sebutan balakutal. Sasaran pukulan pada permainan ujungan tidak terbatas, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa di tangkis. Seorang pemain dapat memukul lawanya sebanyak-banyaknya, atau bahkan dipukul sebanyak-banyaknya, hingga salah seorang diantaranya dinyatakan kalah karena tidak lagi kuat manehan rasa sakit akibat pukulan.
Pada deskripsi profil ini, ujungan tidak dikatagorikan seni bela diri, karena seorang pemain tidak melakukan jurus tangkisan. Walupun demikian, permainan ini tetap dianggap sebagai sebuah karya seni karena didalamnya terdapat unsur-unsur kesenian, misalnya seperangkat gamelan pencak silat yang ditabuh sepanjang permainan ujungan dilaksanakan. Adegan ibing pencak silat yang manis. Pukulan ditandai dengan seruan sang maladang : “ Biluuk! “, disusul kemudian dengan pukulan kearah yang diinginkan.
Karena sifat permainan yang terlalu bebas, maka permainan ini dianggap terlalu berbahaya dan tidak banyak orang yang sanggup memainkannya. Beberpa orang tokoh ujungan mencoba membuat penyempurnaan-penyempurnaan, dengan cara menyederhanakan aturan permainan. Setidaknya terdapat tiga butir aturan esensial yang terdapat pada aturan permainan yang baru, yaitu :
  • Seorang pemain hanya diperkenankan memukul sebanyak 3 (tiga) kali pukulan; dan
  • Sasaran pukulan hanya sebatas betis bagian belakang, tidak lebih dari itu.
  • Pemain dapat bermain pada kelas yang ditentukan menurut usia, misalnya golongtan tua, menengah, pemuda, dan anak-anak.
Seiring dengan berlakunya peraturan yang baru itu, maka nama ujungan pun ditinggalkan. Nama permainanyang lebih populer adalah “ Sampyong ”, Sam = Tiga dan Pyong = Pukulan. Nama baru ini terucap begitu saja dari salah seorang penonton keturunan Cina ketika ia menyaksikan permainan ini. Kiranya ia tertarik pada jumlah pukulan pada permaianan ini hingga kemudian terucaplah kata Sampyong yang kemudian melekat menjadi sebutan permainan sampai sekarang.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, sampyong dihidangkan pada acara-acara tertentu, misalnya pada acara hajatan, dan kini lebih sering terlihat pada acara kontes ketangkasan domba (adu domba). Berikut beberapa urutan pertunjukan sampyong pada suatu acara khusus :
  1. Seluruh peserta memasuki arena dipimpin oleh seorang wasit, melakukan penghormatan kepada penonton dengan iringan kendang pencak dan lagu Golempang.
  2. Pertunjukan eksibisi, yang dimainkan oleh dua orang tokoh ujungan, sebagai pertunjukan pembuka.
  3. Pertunjukan utama, seorang pemain berhasapan dengan pemain lainnya menurut urutan panggilan, dipimpin oleh seorang maladang.
Tokoh-tokoh yang berjasa mengembangkan seni sampyong antara lain : Sanen (Almarhum), Abah Lewo, Mang Kiyun, mang Karta, K. Almawi, Baron, Komar, Anah, Emin dan beberapa tokoh lainnya yang tersebar di beberapa daerah Majalengka. Berkat keulatn para tokoh itu, sampyong tersebar kebeberapa daerah diantaranya Cibodas, Kulur, Sidangkasih, Cijati, Simpeureum, Pasirmuncang, dan beberapa daerah lainnya. Sebagai penghormatan, kelompok seni sampyong Mekar Padesaan dari simpeureum pernah mewakili Jawa Barat pada event pertunjukan seni olah raga di Bali beberapa waktu yang lalu.


SINTREN

Kesenian Sintren di Majalengka berkembang di daerah Ligung, yakni daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Indramayu, yang dianggap sebagai daerah nenek moyang kesenian ini, kedekatan wilayah ini menyebabkan terjadinya penetrasi indramayu ke wilayah Ligung, yang disebabkan oleh adanya komunikasi, sentuhan sosial, dan sekaligussentuhan budaya. Bahasa sebagainmasyarakat Ligung yang menggunakan Bahasa Indramayu, menyebabkan sintren yang diiringi lagu-lagu indramayuan dengan mudah diterima masyarakat setempat. Salah satu lagu yang terkenal dalam kesenian sintren adalah Turun Sintren yang sebagian syairnya berbunyi sebagai berikut :
Turun-turun sintren
Sintrene Widhadhari
Widhadhari tumuruno
Aja suwen mindho dalem
Dalam sampun kangelan
Lagu di atas memiliki kekuatan magis yang tinggi, sebab selain sebagai lagu pengantar, lagu ini merupakan lagu “ mantra “ yang sangat berpengaruh kepada jalanya pertunjukan sintren. Adapun instrument/waditra-wadhitra yang dipergunakan sebagai pengiring terdiri atas duah buah ketipung, sebagai kendang kecil, kecrek, dan dua buah buyung/juru/klenting (wadah untuk mengabil air). (Tuty Yuhanah, 1983). Karena salh satu wadhitra yang digunakan adalah buyung, maka sintren disebut juga Ronggeng Buyung, namun istilah ini tidak sepopuler nama sintren.
Menurut Arthur S. Nalan (2003), kata sintren berasal dari kata SIN yang berarti sindir, dan TETAREN yang berarti pertanyaan memlalui syair yang perlu dipikirkan dan dicari jawabannya. Adegan yang tampak pada pertunjukan sintren adalah adanya orang yang kesurupan (trence), yang karena adegan trence maka kata sintren digunakan.
Lagu-lagu lain yang dilantunkan dalam kesenian sintren adalah kidung, Kembang Tareate, Gulung-gulung Klasa, Simbar Pati, Kilar Blatar, dan lain-lain. Sebagaimana sisebutkan di muka bahwa lagu-lagu pengiring ini memiliki kekuatan magis, sebab ada beberapa lagu yang digunakan sebagai sarana pemujaan; selain beberapa lagu yang merupakan pembaharuan, umpanya lagu-lagu dangdut, yang digunakan sebagai lagu permintaan dari penonton yang akan ikut nari. (Tuty Yuhanah).
Pertunjukan sintren diawali dengan nyala sinar lampu tempel atau ocor, disusul dengan bunyi gamelan. Setelah membakar dupa, seorang penari berkaca mata hitam namun berpakaian biasa dengan tangan teikat tambang di belakang, masuk kedalam lingkaran pertunjukan. Sementara itu para penyanyi menajikan lagu-lagu sebagai lagu pemujaan berbahasa Indramayu yang dilakukan berulang kali.
Penari sintren yang terikat tambang tak sadarkan diri ketika pawang membacakan mantra-mantra, dirbahkan dan dimasukan kedalam kurungan (ranggap). Pawang membawa dupa sambil membaca mantra, berjalan mengelilingi kurungan, diiringi gamelan dan lagu-lagu yang terdengar dinyayikan terus-menerus.
Tbalah saatnya kurungan dbuka, ternyata putri sintren sudah beubah, kini ia memakai pakaian cantik dan tangan tidak terikat. Aksesoris yang dikenakan putri sintren tampak gemerlapan karena sinar lampu, dan tentu saja, berkaca mata hitam. Sewer pun datang berjatuhan dari penonton, sebagai ungkapan selamat kepada putri sintren yang kini tampak cantik. Jika tubuh putri terkena lemparan sawer, maka tubuhnya akan lemas dan terjatuh, “ makanya ketika sintren menari selalu dikelilingi pembantu juru kawih, dan apabila terjatuh maka ia akan dibacakan mantra-mantra agar segar kembali “ (Athur S. Nalan). Lagu yang nyanyikan pada waktu saweran adalah lagu Ayo Ngewer-Ngewer Putren :
Ayo ngewer-ngewer putren
Sing dikewer rujake bae
Ayo nyawer-nyawer putren
Sing disawer panjoko bae
Jika penyawer sudah sepi, putri sintren berjongkok dan ditutup ranggap kembali, dengan iringan lagu Orok-orok :
Orok-orok
Banyu bangrimapar tembok
Wong nonton pada udodhok
Sintren metu salin erok
Ketika ranggap dibuka, tampak putri sintren sudah berpakaian seperti semula, berpakaian bisasa, berkaca mata hitam, dan tangan terikat, serta tidak sadarkan diri. Pawang membacakan matra hingga ia tersadar. Pertunjukan berakhir diiringi lagu Ulung-ulung :
Ulung-ulung Simbar Wulung
Sing Wulungpatine layang
Ala gandrung eling-eling
Ayo si........ (menyebut nama putri sintren)........ pada balik.
Kesenian sintren yang ada saat ini di desa Randegan wetan Kecamatan Jatitujuh, dengan group “ Metal Budaya “.


KECAPIAN
Kecapapian merupakan bentuk kesenian yang menggunakan kecapi sebagaiwaditra utama. Di Majalengka tumbuh berbagai ragam bentuk bentuk seni kecapian, antara lain Kecapi Suling, Kecapi Cemplungan, Kecapi Jejaka Sunda, Kecapi Pantun, dan Kecapi Kalaborasi. Berikut disajikan deskripsi tentang keenam ragam seni kecapian tersebut.


1. Kecapi Suling
Kecapi suling yang berkembang di Majalengka terdiri atas Kecapi tembang dan Kecapi Kawih.
1. Kecapi Tembang
Kecapi suling merupakan bentuk kesenian yang memadukan waditra suling. Fungsi kecapi dan suling pada kesenian ini adalah sebagai pengiring lagu-lagu berbentuk tembang dan kawih.
Seni kecapi suling yang mengiringi tembang dikenal dengan Tembang Sunda,. Pada kesenian ini, terdapat dua buah kecapi sebagai pengiring, yaitu kecapi indung dan kecapi rincik. Biasanya kecapi indung disebut juga kecapi perahu sebab bentuknya seperti perahu. Kadang-kadang disebut jugakecapi gelung karena pada kedua ujungnya berbentuk gelung wayang (mahkota). Jumlah kecapi indung ada 18 yang terbuat dari bahan kuningan. Sedangkan suling yang dipergunakan dalam tembang sundaadalah suling berlubang enam yang dapat berfungsi menghasilkan beberapa laras, seperti pelog, madenda (sorog), dan salendro. Khusus untuk tembang yang berlaras salendro biasanya rebab digunakan untuk menggantikan fungsi suling.
Pemain kecapi suling pada tembang sunda terdiri atas seorang pemain kecapi indung, seorang pemain kecapi rincik, seorang peniup suling, dan juru mamaos baik wanita maupun pria. Lagu-lagu atau tembang yang dibawakan dalam tembang sundaterdiri atas empat golonganlagu, yaitu Rarancagan, Papantunan, dedegungan, dan Jejemplangan. Keempat golongan lagu itu termasuk kedalam sekar irama merdika yaitu lagu yang tidak terikat birama. Untuk melangkapi penyajian tembang irama merdika tersebut, biasanya disajikan penambih (lagu tambahan) berupa kawih. Kawih yang disajikan sebagai penambih ini berbentuk sekar tandak, yaitu lagu yang terikat birama, sehingga iringannya terdengar beraturan.
Para pemain kecapi seling tembang sunda berpakaian taqwa dengan warna seragam, memakai bendo, dan berkain panjang. Sedangkan juru mamaos wanita mengenakan kebaya dengan sanggul dan hiasan lainnya.
Di Majalengka tembang sunda dikembangkan oleh para seniman yang pernah mendapat pendidikan tembang sunda dari daerah periangan, baik melalui penataran atau pelatihan, maupun melalui pendidikan sekolah (SMK dan STSI). Tokoh-tokoh seniman yang berjasa mengembangkan tembang sunda diwilayah Majalengka antara lain Samsuri, E. Kusnadi, Oyo Suharja, Amin Choeruman, dan Soni Supriatna. Walaupun tidak melalui pendidikan khusus, di majalengka lahir beberapa orang juru mamaos wanita yang turut meramaikan khasanah tembang sunda, antara lain Titin Supartini, Tati, Lia Marliani, dll.
2. Kecapi Kawih
Kawih adalah bentuk karawitan sekar (vokal) yang terikat oleh birama atau ketukan. Kecapi untuk mengiringi kawih berbeda dengan kecapi pengiring tembang. Kecapi yang digunakan untuk mengiringi kawih ini adalah kecapi siter dengan julah kawat 20. Biasanya menggunakan satu atau dua buah kecapi. Jjika menggunakan dua buah kecapi, salah satu di antaranya berfungsi sebagai kecapi indung dan yang lainnya sebagai rincik. Suling pada kecapi kawih ini berfungsi sebagai lilitan lagu yang kadang-kadang tempatnya digantikan oleh rebab sesuai dengan kebutuhan lagu. Vokalis pada kesenian ini disebut juru sekar atau juru kawih.
Kesenian ini biasanya tampil menghibur dalam berbagai acara, baik acara seremonial biasa maupun acara-acara hajatan. Hingga saat ini dikenal beberapa pelaku seni kecapi kawih yang andal di Majalengka, di antaranya E. Kusnadi, Oyo suharja, Wasman Rukmana, Daryono, Risnandar, Soni Supriatna (suling dan rebab), Aceng Hidayat (suling), Dede Carmo, Rasma Sudrajat, dan Dadang.
Kesenian kecapi kawih saat ini juga dikembangkan melalui media radio, yaitu melalui siaran Haleuang Pasundan di Radika 100,3 FM Majalengka oleh Group Panghegar. Kelompok seni kawih lainnya antara lain Manik mekar Saputra (Cigasong), tandang Midang (Munjul), dan Kania Setra (Maja).

2. Kecapi Cemplungan
Waditra yang digunakan pada kecapi cemplungan bukan hanya kecapi dan suling, akan tetapi ditambah dengan waditra lain lain sepeti gendang dan gong. Penyajian musik pada jenis kesenian ini terasa lebih lengkap karena beberapa waditra yang berneda dibunyikan dalam suatu sajian yang harmonis. Lagu-lagu yang dibawakan adalah sekar tandak atau kawih. Pada kecapi cemplungan ini, rebab lebih banyak difunsikan jika lagu-lagu dibawakan dalam laras salendro. Untuk menambah daya tarik kepada penonton, penyajian kecapi cemplungan kadang-kadang ditambah pula dengan penari jaipongan, karena musik yang dibawakan melalui kecapi cemplungan memungkinkan tampilnya penari jaipongan melalui lagu-lagu yang selaras.
Group-group kesenian yang siap menampilakan seni cemplungan antara lain Manik Mekar Saputra, Sanggar Panghegar, Tandang Midang, dan Kania Setra.

3. Kecapi Jejaka Sunda
Kecapi jejaka sunda merupakan jenis seni kecapian yang menyajikan lagu-lagu yang jenaka atau luca dalam irama bebas. Jenis kecapian yang digunakan adalah kecapi siter. Pelakunya tediri atas seorang pemain kecapi yang berpera juga sebagai penyanyi ditambah dengan seorang atau dua orang pemain yang semuanya memiliki kemampuan lagu-lagu jenaka.
Kecapi jenaka sunda di Majalengka dikembangkan pada waktu kelompok kesenian PG Kadipaten (tahun 1970-an) masih aktif, dengan seorang dalangnya yang kreatif yaitu Edi Jubaedi. Pemain lainnya yang terkenal adalah Abah Duleh, Abah Bontot, Mang Uu Wahyu, dan Mang Pentil. Generasi berikutnya adalah Karjo, Iwan Abok, Casma (Mang Cemeng), Ikin Sodikin (Mang jangkung).
Pada saat sekarang, kecapi jenaka sunda meskipun jerang sekali ditampilkan dapat dipesan melalaui group Mustika Budaya (Cigasong) dan Tandansg Midang (Munjul).

4. Kecapi Pantun
Kecapi Pantun merupakan sajian kecapian sebagai mendia pengantar atau pengiring ketika sang juru pantun membawa cerita. Pengertian pantun secara harfiah menurut Saleh Danasasmita adalah  “ cerita, balada, dongeng atau sejarah masa silam, umumnya mengenai kerajaan Pajajaran (dibawakan dengan nyanyian, diiringi tarawangsa atau kecapi). (Saleh, 1974). Sedangkan menurut para juru pantun merupakan wancahan atau singkatan dari kata papan nu jadi panungtun. Artinya melalui cerita pantun penonton atau pendengar mendapat tutunan hidup.
Kesenian pantun merupakan jenis kesenian yang didukung oleh unsure-unsur seni sastra dan karawitan. Unsur sastra tampak pada cerita pantun yang dibawakan. Cerita pantun yang semula hanya merupakan cerita lisan. Sekarang sudah banyak yang ditulis berupa buku. Unsur seni karawitan tampak pada iringan widatra kecapi yang dipetik selama pertunjukan pantun dilaksanakan.
Karakteristik penyajian pantun secara tradisional adalah :
  1. Pelaku kesenian ini hanya 1 orang.
  2. sebelum pergelaran dilakukan upacara berupa penyiapan sesajen (sesaji) dan membaca mantra oleh juru pantun sambil membakar kemenyan.
  3. kecapi yang digunakan adalah kecapi indung, atau kecapi biasa dengan jumlah kawat 18 buah.
  4. hingga sekarang masih dianggap sebagai kesenian yang sakral.
Karakteristik pertama bahwa pelaku pantun hanya 1 orang, ini senada dengan penuturan Ajip Rosidi (1983 32) bahwa di daerah Cirebon peruntunjukan pantun hanya dilakukan oleh seorang juru pantun, tanpa teman main lainnya. Namun kenyataan kemudian menunjukkan bahwa upaya survive agar pantun tetap digemari maka pada kesenian ini ditambahkan waditra lain, seperti piul (biola), seorang sinden, dan bahkan gamelan, sehingga pertunjukan pantun tidak ubahnya pertunjukan wayang catur (cerita wayang tanpa wayang) (Ajip Rosidi, 1983 33).
Sesuai dengan jiwa sakralitas yang diusungnya, kesenian pantun selain dipertunjukkan untuk keperluan tontonan, digunakan juga untuk keperluan ruwatan. Tatakrama ruwatan dan kelengkapan Iainnya tidak berbeda dengan acara ruwatan yang dilaksanakan menggunakan kesenian wayang (golek maupun kulit).
Pada umumnya, alur cerita dimulai dengan Rajah Pamuka, diteruskan dengan mangkat carita, nataan karajaan dan para tokoh cerita, selanjutnya bercerita. Pada akhir cerita ditutup dengan melantunkan lagu Rajah Pamunah atau Rajah Penutup.
Cerita-cerita pantun yang terkenal antara lain Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Jaran Sari, Raden Deudeug Pati Jaya Perang, Panggung Karaton, Demung Kalagan, Nyi Pohaci Sanghiang Sri, dll.
Tokoh-tokoh atau jurupantun terkenal dari Majalengka adalah
  1. Saein dari Kelurahan Tonjong;
  2. Sidik dari Bantarjati;
  3. Warwa dari Desa Jatitujuh;
  4. Maun dari Pasir
  5. Nadi dari Desa Kutamanggu;
  6. Baedi dari Desa Kadipaten;
  7. Kusma dari Desa Kadipaten;
  8. Cecep dari Desa Waringin;
  9. Rasim dari Desa Mandapa;
  10. Iwan Ompong dari Desa Bojong Cideres.
Dari kesepuluh orang jurupantun di atas, yang masih hidup adalah Cecep, Rasim, dan Iwan Ompong. Ketiganya sudah berusia cukup lanjut. Karena itu perlu ada upaya regenerasi agar kesenian ini tidak mengalami kepunahan.

5. Kecapi Kolaborasi
Kecapi kolaborasi dikembangkan oleh para seniman muda Majalengka seperti Oyo Suharja dan kawan-kawan. Pada kesenian ini waditra yang digunakan adalah, kecapi siter, gitar akustik, cuk, gitar bas, biota, ruling, gendang, dan gong. Jumlah pernain musik yang, terlibat di dalamnya mencapai
sepuluh orang, yang masing-masing memegang alat musik y.iii{j berbeda. Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu kowlli Sunda, lagu-lagu pop Sunda, dan bahkan mampu mengiriiigi
lagu-lagu Indonesia Populer.
Di dalam penyajiannya, para pemusik tidak duduk bersila sebagaimana kesenian Sunda lainnya. Kecapi yang digunakan disimpan di atas sebuah standar sehingga pemain
kecapi dapat memainkannya sambil duduk di atas kursi. Demikian pula dengan, pemain musik lainnya. Jumlah penyanyi atau juru sekar pada kesenian ini dapat lebih dari satu orang.
Kecapi kolaborasi di Majalengka pertama kali diperkenalkan pada waktu Gelar Seni Tradisi 1 tanggal 26 Desember 2004. Sanggar Panghegar (Radika FM Majalengka) pimpinan Wasman Rukmana adalah satu-satunya kelompok kesenian yang menyajikan jenis kesenian ini.


TARI TOPENG KLASIK
Pada abad ke XVI para wall yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga dan Embah Kuwu Sangkan (Gusti Sinuhun Cirebon) menciptakan sebuah kesenian yang dinamakan Tari Topeng, karena para penarinya memakai tutup muka yaitu Nyi Mas Gandasari (Nyi Gedeng Pangarongan) serta para wiyaganya terdiri dari Walisanga.
Pada mulanya seni Topeng ini untuk menyamar agar bisa masuk ke dalam Keraton Kasepuhan yang telah dikuasai oleh Pangeran Karawelang dari Karawang yang kontra terhadap Walisanga dan ajaran Islam. Dengan menyamar sebagai Nyi Mas Karawelang pedang pusaka yang disebut "Pedang Si Gelap" dapat direbut yang akhirnya Keraton kasepuhan dapat diduduki kembali oleh Gusti Sinuhun Cirebon. Selanjutnya kesenian Topeng ini digunakan sebgai sarana upacara adat Keraton dan upacara Ngarot (syukuran pada musim panen padi di desa-desa).
Masuknya seni Topeng ke daerah Kabupaten Majalengka sekitar abad ke XVII yang dibawa oleh bapak Setian (seorang tokoh seni Tari Topeng dan Wayang Kulit) dari Gegesik, kemudian secara turun temurun sehingga tahun 1937 berdirilah kesenian ini yang dipimpin oleh Andet Suanda.
Berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh Warniti, bahwa tari Topeng ini dibawa ke Majalengka oleh Embah Buyut Giwang pada abad ke XIX, dan tahun 1930 baru emulai berdiri Tari Topeng Klasik Beber yang pada saat itu penarinya ada tiga orang, yaitu; Nayem, Nasem dan Nayem (ibunya Warniti).
Tari topeng klasik berkembang di Desa Randegan Kecamatan Jatitujuh. Ini merupakan kelompok seni tradisional yang didirikan tahun 1952 sebagai kelanjutan dari tradisi di Desa Beber. Pendirinya adalah Ema Nayem, kemudian diwariskan kepada H. Warniti, Suanda, Tasminah, dan Suhadi hingga sekarang. Menurut Suhadi Tari Topeng Klasik yang dipimpinnya pernah tampil hingga ke wilayah Cirebon dan Kuningan.
Terdapat beberapa jenis tari topeng, seperti topeng; (1) Panji; (2) Samba; (3) Tumenggung; (4) Rahwana; dan (5) Rumyang. Kelima jenis tersebut menggambarkan siklus kehidupan manusia. Topeng panji menggambarkan fase masa bayl (warna putih) temperamen raja Pinandita; Topeng Samba mengambarkan fase masa remaja (warna merah gading) temperamen Raja Sinatria; Topeng Tumenggung menggambarkan fase masa dewasa (warna merah jambu) temperamen manusia kukuh dan berwibawa; Topeng Rahwana menggambarkan fase masa dewasa dengan nafsu buruk (warna merah tua) temperamen manusia yang tidak menemukan aku dengan sifatnya yang sombong; dan Topeng Rumyang menggambarkan fase masa tua (warna mawar) temperamen manusia yang telah tua yang percaya diri.
Penyajian Tari Topeng Klasik didukung oleh pangrawit, (pemusik), penari dan lawak berbusana khas tradisional Cirebon. Busana yang dipakai oleh pangrawit yaitu jas tutup, bendo dan selancar. Sedangkan pemeran wanita berupa apok, soder dan sontog. Kesenian ini dilengkapi dengan Iayar, dekorasi panggung khas Cirebon.


KUDA RENGGONG
Kuda renggong tumbuh dan berkembang di Kabupaten Majalengka sejak tahun 1950-an. Adalah sebuah seni pertunjukan rakyat yang bersifat helaran dan pada awalnya disiapkan melayani pesta sunat. Penampilannya kemudian bukan hanya untuk pesta sunat,-namun dipersiapkan juga untuk acara lain, seperti upacara hari besar, festival, menyambut tamu, dll.
Menurut penuturan salah seorang pelatih kuda renggong di Desa Heuleut, Leuwimunding, melatih kuda untuk bisa menari sesuai irama kendang bukan hal yang mudah. Seperti halnya melatih hewan sirkus, melatih kuda memerlukan kesabaran dan_cukup banyak memakan waktu. Kemampuan menari sambil berjalan kemudian ditambah dengan kemampuan atraksi bermain pencak silat. Adegan yang tampak adalah kuda berdiri tertumpu pada sepasang kaki belakang, sedangkan pasangan kaki depan melakukan gerakan-gerakan silat. Ini merupakan puncak pertunjukan kuda renggong, yang biasanya ditampilkan setelah kuda renggong melakukan arak arakan keliling kampung ditunggangi anak sunat. Dalam acara festival, selain keindahan pernak-pernik pakaian clan gerakan tari, gerakan silat ini menjadi fokus penilaian utama. .
Alat musik yang digunakan pada awalnya adalah seperangkat waditra yang digunakan pada pencak silat namun dilengkapi dengan seorang sinden. Penyajian musik pada kuda renggong menjadi lebih atraktif dengan ditambahkannya alat musik modern - biasanya sebuah gitar melodi elektrik - yang menampilkan lagu-lagu jogedan. Pada saat arak-arakan pengantin sunat, masyarakat sekitar yang suka menari atau berjoged turut memeriahkan suasana berjoged di depan kuda dengan maksud untuk menghibur pengantin sunat. Pengantin sunat sendiri dinaikkan di atas Kuda dengan didandani pakaian Gatotkaca sehingga tampak gagah, seperti seorang ksatria kecil sedang menunggang kuda.
Di Majalengka perkembangan kesenian kuda renggong berkembang pesat dan tersebar hampir di semua kecamatan. Dengan tidak menafikan makna spiritual yang dikandungnya, kuda renggong di Majalengka menjadi fenomena hiburan yang digemari oleh semua lapisan mas.yarakat. Studio Radio Indraswara Majalengka bahkan membuat mementum yang bagus, yakni dengan membuat jadwal festival Kuda Renggong setiap tahun sekali. Pada saat festival inilah masyarakat­mendapat kesempatan mengapresiasi kesenian kuda renggong, sekaligus memahami makna yang dikandungnya. Arthur Nalan (2003) menyebutkan bahwa "makna simbolis kuda renggong adalah makna spiritual, makna interaksi makhluk Tuhan, bermakna spiritual, teatrikal dan makna universal.
Nama-nama kelompok kesenian kuda renggong di Majalengka merujuk kepada nama atau julukan yang diberikan kepada kuda yang menjadi ronggeng-nya. Misalnya Si Walet Group, karena nama kudanya adalah.Si Walet, demikian pula halnya dengan nama-nama seperti Si Paser Group, Si Kalong Group, dsb. Nama-nama ini juga tidak diberikan begitu saja, karena pemberian nama juga harus mempertimbangkan wanda (bentuk tubuh), karakter, dan tingkat keterampilan kuda. Misalnya Si Kalong Hideung, nama ini diberikan karena kulit tubuh kuda dimaksud berwarna hitam dan bermata seperti kalong, Si Paser karena keterampilan berlarinya yang cepat melesat seperti sebuah paser (anak panah). Beberapa nama kuda di beberapa daerah ada yang sama, ini disebabkan oleh penyebaran keturunan, balk pemilik kuda maupun kuda sendiri. Atau bahkan karena pemilik kuda yang satu berguru kepada pemilik kuda yang lain, sehingga - dengan komitmen seperlunya - memberikan nama yang sama kepada kuda yang dimilikinya.
Hingga saat ini, tercatat ada 50 group kesenian kuda renggong di Majalengka. Indraswara penyelenggara festival kuda renggong paling sedikit mengundang sedikitnya 15 group kuda renggong. untuk tampil pada acara festival tahunan yang secara resmi dibuka oleh Bupati Majalengka.
Sedangkan group kuda renggong yang masih eksis saat ini beberapa di antaranya sebagaimana disebut pada tebal di bawah ini.
Nama Group Nama
Pimpinan Alamat
Jaya Giri Si Jaya Ijah Baribis, Cigasong
Sari Si Ronald Juhadi Sinarjati, Dawuan
Si Giler Group Si Giler Entis Kasokandel, Dawuan
Sri Si Amoy Ujang Yana Gandu, Dawuan
Pamor Budaya Si Jaya Laksana
Toto Sadasari, Argapura
Budaya Si Gagak Ajid Leuwimunding
Sinar Jaya Si Dolar Dedi Supriatna
Cieurih, Maja
Meganada Si Walet Muda
Ahmad Sukaraja. Jatiwangi
Arpila Si Disco Aminudin Padahanten, Sukahaji
Dimas Si Dimas Ade Tarikolot, Cigasong
Muda Jaya - Kosasih Darmalarang, Banjaran
Walet Si Walet M. Sodikin Sadasari, Cikijing
Si Kalong Hideung
Si Kalong Ujang Sutarding
Palasah
Gatot Si Gatot Adar Palasah



GEMBYUNG
Seni tradisional Gembyung berasal dari nama salah satu gamelan Sunda yang disebit Goong, dilengkapi alat musik lainnya oleh pemain yang berjumlah lengkapnya 25 orang. Mereka terdiri atas : pemain kenting satu dan dua; pemain kemong satu dan
dua; pemain kendang katipluk; pemain kolenter; pemain gembyung satu dan dua pemain suling; dan pemain rebab; sertapemain kemong satu dan dua.
Biasanya kesenian Gembyung darn Kabupaten Majalangka ini.ditampilkan dalam acara-acara yang bernuansa religius, misalnya dalam acara pernikahan, mauludan, peresmian mesjid atau haulan seperti pernah dilaksanakan di Pesantren Benda Cirebon, dan di salah satu pesantren di Kabupaten Subang (di Pamanukan). Selain itu, pernah pula dipentaskan untuk mewakili seni tradisional Majalengka yang dilaksanakan di Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 1984 dan 1986 lalu.
Penampilan seni Gembyung diawali dengan pembacaan tawasul dan hadhoroh kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarganya dan para sahabatnya serta kepada para pengikutnya yang taat kepada-Nya. Kemudian tampil lagu-lagu yang materinya adalah shalawat yang bersumber dari Kitab barjanji (yaitu kitab yang ditulis Imam Barjajnji) atau yang disebut Deba, diiringi oleh musik gembyung tersebut. Pertama kali muncul seni budaya tradisional Gembyung di Kabupaten Majalengka diperkirakan sejak sebelum tahun 1930­an. Pada sekitar tahun 1970-an pernah mengalami kemandegan, tetapi atas upaya yang sungguh-sungguh dari para tokoh seni itu seperti yang dilakukan oleh H.E. Zaenal Muttagin, Dudung dan ustadz Sadeli dari Gunung Manik Kec. Talaga, termasuk pula dari dukungan Bupati Majalengka pada masa H.E. Jaelani, SH juga Bupati sekarang Hj. Tutty Hayati Anwar SH., M.Si. untuk mengeksiskan kembali seni Gembyung dengan kemasan menarik, Walaupun termasuk kelompk seni yang mempunyai akar budaya buhun (kuno), tetapi dalam perkembangannya cenderung dikemas secara dinamis oleh para seniman yang ahli di bidangnya yaitu dengan mengikuti perkembangan zaman.
Beberapa kelompok kesenian gembyung antara lain
  1. Group Laila, pimpinan Bapak Oyo, di Buninagara Bantarujeg;
  2. Panji Wulung, pimpinan Kyai Bahrudin, di Gunungmanik;
  3. Mekar Budaya Putra, pimpinan Yaya Suhaya, di Gunung Manik; ditambah dua group lainnya di Ganeas dan Salado;
  4. Miftahul Jannah, pimpinan Noyadi, di Darmalarang, Banjaran;
  5. Panca Darma, pimpinan (ping Jaenudin, di Burujuiwetan JatiwangI.


GOONG RENTENG
Kesenian ini disebut kesenian Goong Renteng atau Goong Ajeng. Kata ajeng dalam hal ini mengandung arti mempersilakan.
Kesenian ini dirintis oleh Bapak Timpuk, Kepala Desa Gintung Kecamatan Sukahaji pada tahun 1799. Sekarang nama desa ini sudah berganti menjadi Desa Bayureja.
Konon Bapak Timpuk berhubungan dengan Syeh Siti Jenar dari Cirebon, yang pada waktu itu agama Islam sudah mulai tersebar di wilayah Cirebon. Bapak Timpuk merasa tertarik untuk turut menyebarkan agama Islam di wilayahnya. Maka is mencoba membuat alat kesenian goong renteng sebagai media penyebaran agama Islam yang dilakukannya.
Setelah Bapak Timpuk meninggal pada tahun 1855, goong renteng diwariskan kepada anak cucunya, dengan pesan bahwa kelak yang harus mengrus goong ini adalah istri-istri dari anak cucu yang mendapat warisan itu. Kini usia goong itu sudah lebih dari 11 turunan, hingga jatuh kepada pemiliknya yang terakhir sekarang, yaitu. Ibu Marsiah.
Goong ini sekarang dianggap sebagai barang keramat, yang disimpan dengan balk serta setiap malam Jum'at diberi bakaran menyan clan ditaburi bunga-bunga. Setiap tanggal 13 Mulud goong dicuci dengan air kembang, dan pads malam tanggal 14 ditabuh sambil menyanyikan lagu-lagu klasik.
Jalannya pertunjukan adalah sebagai berikut
- tatalu;
- lagu Papalayon (lagu pembukaan);
- Iagu Engko;
- lagu Halang naik Pangprang;.
- lagu Oet-oetan;
- Iagu Dengkleung (lagu Penutup).
Pada acara hajatan durasi pertunj_ukan diperpanjang dan jumlah Iagunya diperbanyak. Kondisi kesenian Goong Renteng sekarang sudah sangat memprihatinkan. Untuk itu, perlu ada upaya penanganan yang serius dari pihak-pihak terkait agar kesenian ini mampu bangkit dan hidup kembali.

Tradisi di Kabupaten Majalengka

Tradisi adalah Tradisi kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Nah,yang kali ini saya mau bahas adalah salah satu tradisi kabupaten Majalengka khususnya  di kecamatan Talaga..mari kita simak tradisi nya..
Tradisi Nyiramkeun merupakan sebuah tradisi yang berada di Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka. Tradisi Nyiramkeun merupakan tradisi berupa mencucikan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Talaga. Kata Nyiramkeun berasal dari kata Sunda yaitu Siram. Tradisi ini berguna untuk melestarikan benda-benda penginggalan kerajaan Talaga tersebut. Tradisi Nyiramkeun dilaksanakan secara turun temurun oleh yayasan Talaga Manggung yang merupakan keluarga keturunan Kerajaan Talaga Manggung pada hari senin pada tanggal belasan Bulan Safar.
Benda-benda yang dicuci dalam upacara ini adalah patung simbarkencana, patung raden panglurah, genta, uang koin, gamelan, senjata keris, golok dan pedang, meriam, senjata, dan baju zirah (perang).
Gamelan pusaka yang akan dicuci.
Gamelan pusaka yang akan dicuci.
Senjata dan Meriam Pusaka yang akan dicucikan,
Senjata dan Meriam Pusaka yang akan dicucikan,
Air untuk penyucian benda-benda pusaka tersebut berasal dari 7 sumber mata air (Ci Nyusu) yang diambil oleh kuncen menggunakan tempat penyimpanan yang berasal dari bambu kuning. Ketujuh sumber mata air (Ci Nyusu) tersebut adalah :
  1. Mata air Gunung Bitung.
  2. Mata Air Situ Sangiang.
  3. Mata Air Wanaperih.
  4. Mata Air Lemah Abang.
  5. Mata Air Ciburuy.
  6. Mata Air Regasari.
  7. Mata Air Cikiray.
Pengisian kendi dari air yang berasal dari Gunung Bitung
Pengisian kendi dari air yang berasal dari Gunung Bitung
Pengisian kendi dari sumber mata air Situ Sangiang
Pengisian kendi dari sumber mata air Situ Sangiang
Ketujuh mata air tersebut terletak di wilayah Talaga dan sekitarnya. Mata air tersebut berada di tempat-tempat yang ada kaitannya dengan sejarah Kerajaan Talaga.
Acara Nyiramkeun Museum Talaga Manggung biasanya dimulai dengan adanya acara Kirab Pusaka. Setelah itu benda-benda pusaka di simpan dipanggung-panggung terpisah. Misalnya Patung Simbarkencana dan Patung Raden Panglurah dipisahkan tepat pencuciannya dari benda-benda lainnya seperti gamelan atau meriam. Kedua patung tersebut sangat diistimewakan. Sebelum masuk ke acara Nyiramkeun, biasanya dibacakan naskah tentang perjalanan sejarah Kerajaan Talaga, dari awal pendirian hingga menjadi Kabupaten Talaga sebelum akhirnya di gabung bersama Kabupaten Sindangkasih dan Kabupaten Rajagaluh menjadi Kabupaten Maja pada tahun 1819 (Nama Kabupaten Maja berubah menjadi Kabupaten Majalengka pada tahun 1840).
Patung Raden Panglurah
Patung Raden Panglurah
Patung Ratu Simbarkecana yang sedang dicui oleh air dari 7 mata air dan kembang setaman
Patung Ratu Simbarkecana yang sedang dicui oleh air dari 7 mata air dan kembang setaman
Setelah pembagian tempat tersebut lalu disimpan sebuah kendi untuk kemudian diisi oleh air yang berasal dari 7 mata air tersebut dan kemudian dicampurkan oleh kembang setaman. Air yang diisi dari campuran ke 7 mata air tersebut kemudian campurkan dengan air lainnya yang sudah disediakan di setiap panggung. Setelah itu kemudian dilakukan prosesi Nyiramkeun disetiap panggung. Untuk pencucian patung Simabarkencana dilakukan oleh kaum wanita, sedangkan patung Raden Panglurah oleh kaum pria, sedangkan benda-benda lainnya dilakukan oleh keluarga keturunan  Kerajaan Talaga lainnya. Mereka yang bertugas untuk mencucikan benda-benda pusaka ini, untuk kaum pria mengunakan baju kampret hitam dan ikat kepala, sedangkan untuk kaum wanita menggunakan kebaya. Air hasil pencucian benda-benda pusaka biasanya diperebutkan oleh warga yang menyaksikan tradisi Nyiramkeun. 
Patung Radeng Panglurah yang sedang dimandikan.
Patung Radeng Panglurah yang sedang dimandikan.
Genta (lonceng) dan uang  logam kuno yang sedang dicuci
Genta (lonceng) dan uang logam kuno yang sedang dicuci
Gong dan Goang renteng yang sedang dicuci
Gong dan Goang renteng yang sedang dicuci
Pusaka berupa senjata tombak dan meriam kecil yang sedang dicuci
Pusaka berupa senjata tombak dan meriam kecil yang sedang dicuci
Kendi pusaka yang ikut dicuci
Kendi pusaka yang ikut dicuci
Pusaka-pusaka yang sudah selesai di cuci
Masyarakat yang berebut mendapatkan air bekas mencuci pusaka
Masyarakat yang berebut mendapatkan air bekas mencuci pusaka
2012-12-31 11.03.11