GAOK
Kesenian “ Gaok “ apabila
diamati dalam cara penampilannya merupakan seni tradisional yang
telah mengalami singkritisme antara nilai-nilai budaya etnis sunda
buhun dan budaya bernuansa islam yang dibawa dari cirebon. Misalnya
dapat diamati ketika dalam pertunjukan, ternyata selalu diawali dengan
bahasa sunda, tetapi gayanya terkadang seperti orang yang sedang
mengumandangkan adzan, kemudian busana yang dikenakan para pemainnya
adalah busana khas sunda.
Seni ini mulai ada dan berkembang di
majalengka di perkirakan sejak setalah masuknya Agama Islam di wilayah
Kabupaten Majalengka yaitu sekitar abad ke 15 ketika pangeran
Mehammad berusaha menyebarkan ajaran islam, yang dilaksanakan sebagai
upaya yang dipandang strategis dalam dakwah islam. Hingga sekarang
seni tradisonal Gaok masih ada yaitu yang dikembangkan di desa Kulur
Kecamatan Majalengka oleh seorang seniman bernama Sabda Wangsaharja
sejak sekitar tahun 1920.
Kesenian tersebut termasuk seni sastra jenis “ mamacan “ (membaca tekx) atau juga disebut wawacan singkatan dari wawar ka anu acan
(memberitahu kepada yang belum mengetahui), yang disuguhkan tanpa
penggung pada acara seperti keperluan ritual atau upacara adat yang
umumnya dilaksanakan ketika “ ngayun “ (acara kelahiran bayi ) dengan
cara memaparkan cerita seperti Babad Cirebon yang dilantunkan melalui
vokal para pemain yang berjumlah antara empat hinga enam rang bahkan
mungkin lebih, dengan busana berupa kampret/ toro lengkap dengan ikat
kepala, sipimpin oleh seorang dalang/pengawawit dan juru mamaos, diatur
berdasarkan urutan; (1) tatalu; (2) lalaguan dan (3) tarian; serta (4)
pertunjukan. Adapun alat musik yang digunakan adalah (1) Gong Buyung
dan (2) Kecrek dari Bambu. Durasi pemain biasanya berlangsung semalam
suntuk. Sekarang durasinya hanya sekitar dua jam saja, dimana para
pemainnya secara bergantian melantunkan tembang dengan suarayang keras
sehingga dinamakan ‘ Gaok “ yang diambil dari kata “ ngagorowok “
(berteriak) dengan bentuk pupuh atau kakawen.
Kesenian Gaok di Desa Kulur Kecamatan
Majalengka saat ini dipimpin oleh E. Wangsadiharja, tersebar hingga ke
beberapa desa Kecamatan Majalengka dan Cigasong. Sebelum kesenian
Gaok dimulai diadakan upacara “ susuguhan “ (memberikan sesajen kepada
para leluhur) berupa makanan dan minuman sisertai pembakaran
kemenyan.
Menurut kurun waktu nya seni Gaok
terbagi dua macam, yaitu (1) Buhun yang mengisahkan zaman dahulu dan;
(2) Galur yang mengisahkan kehidupan manusia pada zaman sekarang.
SAMPYONG
Pada tahun 1960 di daera Cibodas Kecamatan Majalengka tumbuh sebuah permainan rakyat yang dikenal dengan ujungan.
Permainan ini merupakan permainan adu ketangkassan dan kekuatan memukul
dan dipukul dengan mengunakan alat yang terbuat dari kayu atau rotan
berukuran 60 cm. Pemain terdiri atas dua orang yang saling berhadapan,
baik laki-laki maupun perempuan, dipimpin oleh seorang wasit yang
disebut malandang. Kedua pemain menggunakan teregos,
yaitu tutup kepala yang terbuat dari kain yang diisi dengan bahan-bahan
empuk sebagai pelindung kepala. Tutup kepala demikian dikenal pula
dengan sebutan balakutal. Sasaran pukulan pada permainan
ujungan tidak terbatas, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa di
tangkis. Seorang pemain dapat memukul lawanya sebanyak-banyaknya, atau
bahkan dipukul sebanyak-banyaknya, hingga salah seorang diantaranya
dinyatakan kalah karena tidak lagi kuat manehan rasa sakit akibat
pukulan.
Pada deskripsi profil ini, ujungan tidak
dikatagorikan seni bela diri, karena seorang pemain tidak melakukan
jurus tangkisan. Walupun demikian, permainan ini tetap dianggap sebagai
sebuah karya seni karena didalamnya terdapat unsur-unsur kesenian,
misalnya seperangkat gamelan pencak silat yang ditabuh sepanjang
permainan ujungan dilaksanakan. Adegan ibing pencak silat yang manis.
Pukulan ditandai dengan seruan sang maladang : “ Biluuk! “, disusul kemudian dengan pukulan kearah yang diinginkan.
Karena sifat permainan yang terlalu
bebas, maka permainan ini dianggap terlalu berbahaya dan tidak banyak
orang yang sanggup memainkannya. Beberpa orang tokoh ujungan mencoba
membuat penyempurnaan-penyempurnaan, dengan cara menyederhanakan aturan
permainan. Setidaknya terdapat tiga butir aturan esensial yang terdapat
pada aturan permainan yang baru, yaitu :
- Seorang pemain hanya diperkenankan memukul sebanyak 3 (tiga) kali pukulan; dan
- Sasaran pukulan hanya sebatas betis bagian belakang, tidak lebih dari itu.
- Pemain dapat bermain pada kelas yang ditentukan menurut usia, misalnya golongtan tua, menengah, pemuda, dan anak-anak.
Seiring dengan berlakunya peraturan yang
baru itu, maka nama ujungan pun ditinggalkan. Nama permainanyang lebih
populer adalah “ Sampyong ”, Sam = Tiga dan
Pyong = Pukulan. Nama baru ini terucap begitu saja dari salah seorang
penonton keturunan Cina ketika ia menyaksikan permainan ini. Kiranya ia
tertarik pada jumlah pukulan pada permaianan ini hingga kemudian
terucaplah kata Sampyong yang kemudian melekat menjadi sebutan permainan sampai sekarang.
Sebagai sebuah seni pertunjukan,
sampyong dihidangkan pada acara-acara tertentu, misalnya pada acara
hajatan, dan kini lebih sering terlihat pada acara kontes ketangkasan
domba (adu domba). Berikut beberapa urutan pertunjukan sampyong pada
suatu acara khusus :
- Seluruh peserta memasuki arena dipimpin oleh seorang wasit,
melakukan penghormatan kepada penonton dengan iringan kendang pencak dan
lagu Golempang.
- Pertunjukan eksibisi, yang dimainkan oleh dua orang tokoh ujungan, sebagai pertunjukan pembuka.
- Pertunjukan utama, seorang pemain berhasapan dengan pemain lainnya menurut urutan panggilan, dipimpin oleh seorang maladang.
Tokoh-tokoh yang berjasa mengembangkan seni sampyong antara lain : Sanen (Almarhum), Abah Lewo, Mang Kiyun, mang Karta, K. Almawi, Baron, Komar, Anah, Emin
dan beberapa tokoh lainnya yang tersebar di beberapa daerah Majalengka.
Berkat keulatn para tokoh itu, sampyong tersebar kebeberapa daerah
diantaranya Cibodas, Kulur, Sidangkasih, Cijati, Simpeureum,
Pasirmuncang, dan beberapa daerah lainnya. Sebagai penghormatan,
kelompok seni sampyong Mekar Padesaan dari simpeureum pernah mewakili Jawa Barat pada event pertunjukan seni olah raga di Bali beberapa waktu yang lalu.
SINTREN
Kesenian
Sintren di Majalengka berkembang di daerah Ligung, yakni daerah yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Indramayu, yang dianggap sebagai
daerah nenek moyang kesenian ini, kedekatan wilayah ini menyebabkan
terjadinya penetrasi indramayu ke wilayah Ligung, yang disebabkan oleh
adanya komunikasi, sentuhan sosial, dan sekaligussentuhan budaya. Bahasa
sebagainmasyarakat Ligung yang menggunakan Bahasa Indramayu,
menyebabkan sintren yang diiringi lagu-lagu indramayuan dengan mudah
diterima masyarakat setempat. Salah satu lagu yang terkenal dalam
kesenian sintren adalah Turun Sintren yang sebagian syairnya berbunyi sebagai berikut :
Turun-turun sintren
Sintrene Widhadhari
Widhadhari tumuruno
Aja suwen mindho dalem
Dalam sampun kangelan
Lagu di atas memiliki kekuatan magis
yang tinggi, sebab selain sebagai lagu pengantar, lagu ini merupakan
lagu “ mantra “ yang sangat berpengaruh kepada jalanya pertunjukan
sintren. Adapun instrument/waditra-wadhitra yang dipergunakan sebagai
pengiring terdiri atas duah buah ketipung, sebagai kendang kecil,
kecrek, dan dua buah buyung/juru/klenting (wadah untuk mengabil air).
(Tuty Yuhanah, 1983). Karena salh satu wadhitra yang digunakan adalah
buyung, maka sintren disebut juga Ronggeng Buyung, namun istilah ini tidak sepopuler nama sintren.
Menurut Arthur S. Nalan (2003), kata
sintren berasal dari kata SIN yang berarti sindir, dan TETAREN yang
berarti pertanyaan memlalui syair yang perlu dipikirkan dan dicari
jawabannya. Adegan yang tampak pada pertunjukan sintren adalah adanya
orang yang kesurupan (trence), yang karena adegan trence maka kata sintren digunakan.
Lagu-lagu lain yang dilantunkan dalam
kesenian sintren adalah kidung, Kembang Tareate, Gulung-gulung Klasa,
Simbar Pati, Kilar Blatar, dan lain-lain. Sebagaimana sisebutkan di muka
bahwa lagu-lagu pengiring ini memiliki kekuatan magis, sebab ada
beberapa lagu yang digunakan sebagai sarana pemujaan; selain beberapa
lagu yang merupakan pembaharuan, umpanya lagu-lagu dangdut, yang
digunakan sebagai lagu permintaan dari penonton yang akan ikut nari.
(Tuty Yuhanah).
Pertunjukan sintren diawali dengan nyala
sinar lampu tempel atau ocor, disusul dengan bunyi gamelan. Setelah
membakar dupa, seorang penari berkaca mata hitam namun berpakaian biasa
dengan tangan teikat tambang di belakang, masuk kedalam lingkaran
pertunjukan. Sementara itu para penyanyi menajikan lagu-lagu sebagai
lagu pemujaan berbahasa Indramayu yang dilakukan berulang kali.
Penari sintren yang terikat tambang tak
sadarkan diri ketika pawang membacakan mantra-mantra, dirbahkan dan
dimasukan kedalam kurungan (ranggap). Pawang membawa dupa sambil membaca
mantra, berjalan mengelilingi kurungan, diiringi gamelan dan lagu-lagu
yang terdengar dinyayikan terus-menerus.
Tbalah saatnya kurungan dbuka, ternyata
putri sintren sudah beubah, kini ia memakai pakaian cantik dan tangan
tidak terikat. Aksesoris yang dikenakan putri sintren tampak gemerlapan
karena sinar lampu, dan tentu saja, berkaca mata hitam. Sewer pun datang
berjatuhan dari penonton, sebagai ungkapan selamat kepada putri sintren
yang kini tampak cantik. Jika tubuh putri terkena lemparan sawer, maka
tubuhnya akan lemas dan terjatuh, “ makanya ketika sintren menari selalu
dikelilingi pembantu juru kawih, dan apabila terjatuh maka ia akan
dibacakan mantra-mantra agar segar kembali “ (Athur S. Nalan). Lagu yang
nyanyikan pada waktu saweran adalah lagu Ayo Ngewer-Ngewer Putren :
Ayo ngewer-ngewer putren
Sing dikewer rujake bae
Ayo nyawer-nyawer putren
Sing disawer panjoko bae
Jika penyawer sudah sepi, putri sintren berjongkok dan ditutup ranggap kembali, dengan iringan lagu Orok-orok :
Orok-orok
Banyu bangrimapar tembok
Wong nonton pada udodhok
Sintren metu salin erok
Ketika ranggap dibuka, tampak putri
sintren sudah berpakaian seperti semula, berpakaian bisasa, berkaca mata
hitam, dan tangan terikat, serta tidak sadarkan diri. Pawang membacakan
matra hingga ia tersadar. Pertunjukan berakhir diiringi lagu Ulung-ulung :
Ulung-ulung Simbar Wulung
Sing Wulungpatine layang
Ala gandrung eling-eling
Ayo si........ (menyebut nama putri sintren)........ pada balik.
Kesenian sintren yang ada saat ini di desa Randegan wetan Kecamatan Jatitujuh, dengan group “ Metal Budaya “.
KECAPIAN
Kecapapian
merupakan bentuk kesenian yang menggunakan kecapi sebagaiwaditra utama.
Di Majalengka tumbuh berbagai ragam bentuk bentuk seni kecapian, antara
lain Kecapi Suling, Kecapi Cemplungan, Kecapi Jejaka Sunda, Kecapi
Pantun, dan Kecapi Kalaborasi. Berikut disajikan deskripsi tentang
keenam ragam seni kecapian tersebut.
1. Kecapi Suling
Kecapi suling yang berkembang di Majalengka terdiri atas Kecapi tembang dan Kecapi Kawih.
1. Kecapi Tembang
Kecapi suling
merupakan bentuk kesenian yang memadukan waditra suling. Fungsi kecapi
dan suling pada kesenian ini adalah sebagai pengiring lagu-lagu
berbentuk tembang dan kawih.
Seni kecapi suling yang mengiringi tembang dikenal dengan Tembang Sunda,. Pada kesenian ini, terdapat dua buah kecapi sebagai pengiring, yaitu kecapi indung dan kecapi rincik.
Biasanya kecapi indung disebut juga kecapi perahu sebab bentuknya
seperti perahu. Kadang-kadang disebut jugakecapi gelung karena pada
kedua ujungnya berbentuk gelung wayang (mahkota). Jumlah kecapi indung
ada 18 yang terbuat dari bahan kuningan. Sedangkan suling yang
dipergunakan dalam tembang sundaadalah suling berlubang enam yang dapat
berfungsi menghasilkan beberapa laras, seperti pelog, madenda (sorog),
dan salendro. Khusus untuk tembang yang berlaras salendro biasanya rebab
digunakan untuk menggantikan fungsi suling.
Pemain kecapi suling
pada tembang sunda terdiri atas seorang pemain kecapi indung, seorang
pemain kecapi rincik, seorang peniup suling, dan juru mamaos baik wanita
maupun pria. Lagu-lagu atau tembang yang dibawakan dalam tembang
sundaterdiri atas empat golonganlagu, yaitu Rarancagan, Papantunan, dedegungan, dan Jejemplangan.
Keempat golongan lagu itu termasuk kedalam sekar irama merdika yaitu
lagu yang tidak terikat birama. Untuk melangkapi penyajian tembang irama
merdika tersebut, biasanya disajikan penambih (lagu tambahan) berupa
kawih. Kawih yang disajikan sebagai penambih ini berbentuk sekar tandak,
yaitu lagu yang terikat birama, sehingga iringannya terdengar
beraturan.
Para pemain kecapi
seling tembang sunda berpakaian taqwa dengan warna seragam, memakai
bendo, dan berkain panjang. Sedangkan juru mamaos wanita mengenakan
kebaya dengan sanggul dan hiasan lainnya.
Di Majalengka
tembang sunda dikembangkan oleh para seniman yang pernah mendapat
pendidikan tembang sunda dari daerah periangan, baik melalui penataran
atau pelatihan, maupun melalui pendidikan sekolah (SMK dan STSI).
Tokoh-tokoh seniman yang berjasa mengembangkan tembang sunda diwilayah
Majalengka antara lain Samsuri, E. Kusnadi, Oyo Suharja, Amin Choeruman, dan Soni Supriatna. Walaupun
tidak melalui pendidikan khusus, di majalengka lahir beberapa orang
juru mamaos wanita yang turut meramaikan khasanah tembang sunda, antara
lain Titin Supartini, Tati, Lia Marliani, dll.
2. Kecapi Kawih
Kawih adalah bentuk
karawitan sekar (vokal) yang terikat oleh birama atau ketukan. Kecapi
untuk mengiringi kawih berbeda dengan kecapi pengiring tembang. Kecapi
yang digunakan untuk mengiringi kawih ini adalah kecapi siter dengan
julah kawat 20. Biasanya menggunakan satu atau dua buah kecapi. Jjika
menggunakan dua buah kecapi, salah satu di antaranya berfungsi sebagai
kecapi indung dan yang lainnya sebagai rincik. Suling pada kecapi kawih
ini berfungsi sebagai lilitan lagu yang kadang-kadang tempatnya
digantikan oleh rebab sesuai dengan kebutuhan lagu. Vokalis pada
kesenian ini disebut juru sekar atau juru kawih.
Kesenian ini
biasanya tampil menghibur dalam berbagai acara, baik acara seremonial
biasa maupun acara-acara hajatan. Hingga saat ini dikenal beberapa
pelaku seni kecapi kawih yang andal di Majalengka, di antaranya E.
Kusnadi, Oyo suharja, Wasman Rukmana, Daryono, Risnandar, Soni Supriatna
(suling dan rebab), Aceng Hidayat (suling), Dede Carmo, Rasma Sudrajat,
dan Dadang.
Kesenian kecapi kawih saat ini juga dikembangkan melalui media radio, yaitu melalui siaran Haleuang Pasundan di Radika 100,3 FM Majalengka oleh Group Panghegar. Kelompok seni kawih lainnya antara lain Manik mekar Saputra (Cigasong), tandang Midang (Munjul), dan Kania Setra (Maja).
2. Kecapi Cemplungan
Waditra yang
digunakan pada kecapi cemplungan bukan hanya kecapi dan suling, akan
tetapi ditambah dengan waditra lain lain sepeti gendang dan gong.
Penyajian musik pada jenis kesenian ini terasa lebih lengkap karena
beberapa waditra yang berneda dibunyikan dalam suatu sajian yang
harmonis. Lagu-lagu yang dibawakan adalah sekar tandak atau kawih. Pada
kecapi cemplungan ini, rebab lebih banyak difunsikan jika lagu-lagu
dibawakan dalam laras salendro. Untuk menambah daya tarik kepada
penonton, penyajian kecapi cemplungan kadang-kadang ditambah pula dengan
penari jaipongan, karena musik yang dibawakan melalui kecapi cemplungan
memungkinkan tampilnya penari jaipongan melalui lagu-lagu yang selaras.
Group-group kesenian
yang siap menampilakan seni cemplungan antara lain Manik Mekar Saputra,
Sanggar Panghegar, Tandang Midang, dan Kania Setra.
3. Kecapi Jejaka Sunda
Kecapi jejaka sunda
merupakan jenis seni kecapian yang menyajikan lagu-lagu yang jenaka atau
luca dalam irama bebas. Jenis kecapian yang digunakan adalah kecapi
siter. Pelakunya tediri atas seorang pemain kecapi yang berpera juga
sebagai penyanyi ditambah dengan seorang atau dua orang pemain yang
semuanya memiliki kemampuan lagu-lagu jenaka.
Kecapi jenaka sunda
di Majalengka dikembangkan pada waktu kelompok kesenian PG Kadipaten
(tahun 1970-an) masih aktif, dengan seorang dalangnya yang kreatif yaitu
Edi Jubaedi. Pemain lainnya yang terkenal adalah Abah Duleh, Abah Bontot, Mang Uu Wahyu, dan Mang Pentil. Generasi berikutnya adalah Karjo, Iwan Abok, Casma (Mang Cemeng), Ikin Sodikin (Mang jangkung).
Pada saat sekarang,
kecapi jenaka sunda meskipun jerang sekali ditampilkan dapat dipesan
melalaui group Mustika Budaya (Cigasong) dan Tandansg Midang (Munjul).
4. Kecapi Pantun
Kecapi Pantun
merupakan sajian kecapian sebagai mendia pengantar atau pengiring ketika
sang juru pantun membawa cerita. Pengertian pantun secara harfiah
menurut Saleh Danasasmita adalah “ cerita, balada, dongeng
atau sejarah masa silam, umumnya mengenai kerajaan Pajajaran (dibawakan
dengan nyanyian, diiringi tarawangsa atau kecapi). (Saleh, 1974). Sedangkan menurut para juru pantun merupakan wancahan atau singkatan dari kata papan nu jadi panungtun. Artinya melalui cerita pantun penonton atau pendengar mendapat tutunan hidup.
Kesenian pantun
merupakan jenis kesenian yang didukung oleh unsure-unsur seni sastra dan
karawitan. Unsur sastra tampak pada cerita pantun yang dibawakan.
Cerita pantun yang semula hanya merupakan cerita lisan. Sekarang sudah
banyak yang ditulis berupa buku. Unsur seni karawitan tampak pada
iringan widatra kecapi yang dipetik selama pertunjukan pantun
dilaksanakan.
Karakteristik penyajian pantun secara tradisional adalah :
- Pelaku kesenian ini hanya 1 orang.
- sebelum pergelaran dilakukan upacara berupa penyiapan sesajen
(sesaji) dan membaca mantra oleh juru pantun sambil membakar kemenyan.
- kecapi yang digunakan adalah kecapi indung, atau kecapi biasa dengan jumlah kawat 18 buah.
- hingga sekarang masih dianggap sebagai kesenian yang sakral.
Karakteristik
pertama bahwa pelaku pantun hanya 1 orang, ini senada dengan penuturan
Ajip Rosidi (1983 32) bahwa di daerah Cirebon peruntunjukan pantun hanya
dilakukan oleh seorang juru pantun, tanpa teman main lainnya. Namun
kenyataan kemudian menunjukkan bahwa upaya survive agar pantun tetap
digemari maka pada kesenian ini ditambahkan waditra lain, seperti piul (biola),
seorang sinden, dan bahkan gamelan, sehingga pertunjukan pantun tidak
ubahnya pertunjukan wayang catur (cerita wayang tanpa wayang) (Ajip
Rosidi, 1983 33).
Sesuai dengan jiwa
sakralitas yang diusungnya, kesenian pantun selain dipertunjukkan untuk
keperluan tontonan, digunakan juga untuk keperluan ruwatan. Tatakrama
ruwatan dan kelengkapan Iainnya tidak berbeda dengan acara ruwatan yang
dilaksanakan menggunakan kesenian wayang (golek maupun kulit).
Pada umumnya, alur
cerita dimulai dengan Rajah Pamuka, diteruskan dengan mangkat carita,
nataan karajaan dan para tokoh cerita, selanjutnya bercerita. Pada akhir
cerita ditutup dengan melantunkan lagu Rajah Pamunah atau Rajah
Penutup.
Cerita-cerita pantun yang terkenal antara lain Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Jaran Sari, Raden Deudeug Pati Jaya Perang, Panggung Karaton, Demung Kalagan, Nyi Pohaci Sanghiang Sri, dll.
Tokoh-tokoh atau jurupantun terkenal dari Majalengka adalah
- Saein dari Kelurahan Tonjong;
- Sidik dari Bantarjati;
- Warwa dari Desa Jatitujuh;
- Maun dari Pasir
- Nadi dari Desa Kutamanggu;
- Baedi dari Desa Kadipaten;
- Kusma dari Desa Kadipaten;
- Cecep dari Desa Waringin;
- Rasim dari Desa Mandapa;
- Iwan Ompong dari Desa Bojong Cideres.
Dari kesepuluh orang jurupantun di atas,
yang masih hidup adalah Cecep, Rasim, dan Iwan Ompong. Ketiganya sudah
berusia cukup lanjut. Karena itu perlu ada upaya regenerasi agar
kesenian ini tidak mengalami kepunahan.
5. Kecapi Kolaborasi
Kecapi kolaborasi
dikembangkan oleh para seniman muda Majalengka seperti Oyo Suharja dan
kawan-kawan. Pada kesenian ini waditra yang digunakan adalah, kecapi
siter, gitar akustik, cuk, gitar bas, biota, ruling, gendang, dan gong.
Jumlah pernain musik yang, terlibat di dalamnya mencapai
sepuluh orang, yang
masing-masing memegang alat musik y.iii{j berbeda. Lagu-lagu yang
dibawakan adalah lagu-lagu kowlli Sunda, lagu-lagu pop Sunda, dan bahkan
mampu mengiriiigi
lagu-lagu Indonesia Populer.
Di dalam
penyajiannya, para pemusik tidak duduk bersila sebagaimana kesenian
Sunda lainnya. Kecapi yang digunakan disimpan di atas sebuah standar
sehingga pemain
kecapi dapat
memainkannya sambil duduk di atas kursi. Demikian pula dengan, pemain
musik lainnya. Jumlah penyanyi atau juru sekar pada kesenian ini dapat
lebih dari satu orang.
Kecapi kolaborasi di
Majalengka pertama kali diperkenalkan pada waktu Gelar Seni Tradisi 1
tanggal 26 Desember 2004. Sanggar Panghegar (Radika FM Majalengka)
pimpinan Wasman Rukmana adalah satu-satunya kelompok kesenian yang
menyajikan jenis kesenian ini.
TARI TOPENG KLASIK
Pada
abad ke XVI para wall yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga dan Embah Kuwu
Sangkan (Gusti Sinuhun Cirebon) menciptakan sebuah kesenian yang
dinamakan Tari Topeng, karena para penarinya memakai tutup muka yaitu
Nyi Mas Gandasari (Nyi Gedeng Pangarongan) serta para wiyaganya terdiri
dari Walisanga.
Pada mulanya seni Topeng ini untuk
menyamar agar bisa masuk ke dalam Keraton Kasepuhan yang telah dikuasai
oleh Pangeran Karawelang dari Karawang yang kontra terhadap Walisanga
dan ajaran Islam. Dengan menyamar sebagai Nyi Mas Karawelang pedang
pusaka yang disebut "Pedang Si Gelap" dapat direbut yang akhirnya
Keraton kasepuhan dapat diduduki kembali oleh Gusti Sinuhun Cirebon.
Selanjutnya kesenian Topeng ini digunakan sebgai sarana upacara adat
Keraton dan upacara Ngarot (syukuran pada musim panen padi di
desa-desa).
Masuknya seni Topeng ke daerah Kabupaten
Majalengka sekitar abad ke XVII yang dibawa oleh bapak Setian (seorang
tokoh seni Tari Topeng dan Wayang Kulit) dari Gegesik, kemudian secara
turun temurun sehingga tahun 1937 berdirilah kesenian ini yang dipimpin
oleh Andet Suanda.
Berbeda dengan pendapat yang disampaikan
oleh Warniti, bahwa tari Topeng ini dibawa ke Majalengka oleh Embah
Buyut Giwang pada abad ke XIX, dan tahun 1930 baru emulai berdiri Tari
Topeng Klasik Beber yang pada saat itu penarinya ada tiga orang, yaitu;
Nayem, Nasem dan Nayem (ibunya Warniti).
Tari topeng klasik berkembang di Desa
Randegan Kecamatan Jatitujuh. Ini merupakan kelompok seni tradisional
yang didirikan tahun 1952 sebagai kelanjutan dari tradisi di Desa Beber.
Pendirinya adalah Ema Nayem, kemudian diwariskan kepada H. Warniti,
Suanda, Tasminah, dan Suhadi hingga sekarang. Menurut Suhadi Tari Topeng
Klasik yang dipimpinnya pernah tampil hingga ke wilayah Cirebon dan
Kuningan.
Terdapat beberapa jenis tari topeng,
seperti topeng; (1) Panji; (2) Samba; (3) Tumenggung; (4) Rahwana; dan
(5) Rumyang. Kelima jenis tersebut menggambarkan siklus kehidupan
manusia. Topeng panji menggambarkan fase masa bayl (warna putih)
temperamen raja Pinandita; Topeng Samba mengambarkan fase masa remaja
(warna merah gading) temperamen Raja Sinatria; Topeng Tumenggung
menggambarkan fase masa dewasa (warna merah jambu) temperamen manusia
kukuh dan berwibawa; Topeng Rahwana menggambarkan fase masa dewasa
dengan nafsu buruk (warna merah tua) temperamen manusia yang tidak
menemukan aku dengan sifatnya yang sombong; dan Topeng Rumyang
menggambarkan fase masa tua (warna mawar) temperamen manusia yang telah
tua yang percaya diri.
Penyajian Tari Topeng Klasik didukung
oleh pangrawit, (pemusik), penari dan lawak berbusana khas tradisional
Cirebon. Busana yang dipakai oleh pangrawit yaitu jas tutup, bendo dan
selancar. Sedangkan pemeran wanita berupa apok, soder dan sontog.
Kesenian ini dilengkapi dengan Iayar, dekorasi panggung khas Cirebon.
KUDA RENGGONG
Kuda
renggong tumbuh dan berkembang di Kabupaten Majalengka sejak tahun
1950-an. Adalah sebuah seni pertunjukan rakyat yang bersifat helaran dan
pada awalnya disiapkan melayani pesta sunat. Penampilannya kemudian
bukan hanya untuk pesta sunat,-namun dipersiapkan juga untuk acara lain,
seperti upacara hari besar, festival, menyambut tamu, dll.
Menurut penuturan salah seorang pelatih
kuda renggong di Desa Heuleut, Leuwimunding, melatih kuda untuk bisa
menari sesuai irama kendang bukan hal yang mudah. Seperti halnya melatih
hewan sirkus, melatih kuda memerlukan kesabaran dan_cukup banyak
memakan waktu. Kemampuan menari sambil berjalan kemudian ditambah dengan
kemampuan atraksi bermain pencak silat. Adegan yang tampak adalah kuda
berdiri tertumpu pada sepasang kaki belakang, sedangkan pasangan kaki
depan melakukan gerakan-gerakan silat. Ini merupakan puncak pertunjukan
kuda renggong, yang biasanya ditampilkan setelah kuda renggong melakukan
arak arakan keliling kampung ditunggangi anak sunat. Dalam acara
festival, selain keindahan pernak-pernik pakaian clan gerakan tari,
gerakan silat ini menjadi fokus penilaian utama. .
Alat musik yang digunakan pada awalnya
adalah seperangkat waditra yang digunakan pada pencak silat namun
dilengkapi dengan seorang sinden. Penyajian musik pada kuda renggong
menjadi lebih atraktif dengan ditambahkannya alat musik modern -
biasanya sebuah gitar melodi elektrik - yang menampilkan lagu-lagu
jogedan. Pada saat arak-arakan pengantin sunat, masyarakat sekitar yang
suka menari atau berjoged turut memeriahkan suasana berjoged di depan
kuda dengan maksud untuk menghibur pengantin sunat. Pengantin sunat
sendiri dinaikkan di atas Kuda dengan didandani pakaian Gatotkaca
sehingga tampak gagah, seperti seorang ksatria kecil sedang menunggang
kuda.
Di Majalengka perkembangan kesenian kuda
renggong berkembang pesat dan tersebar hampir di semua kecamatan.
Dengan tidak menafikan makna spiritual yang dikandungnya, kuda renggong
di Majalengka menjadi fenomena hiburan yang digemari oleh semua lapisan
mas.yarakat. Studio Radio Indraswara Majalengka bahkan membuat mementum
yang bagus, yakni dengan membuat jadwal festival Kuda Renggong setiap
tahun sekali. Pada saat festival inilah masyarakatmendapat kesempatan
mengapresiasi kesenian kuda renggong, sekaligus memahami makna yang
dikandungnya. Arthur Nalan (2003) menyebutkan bahwa "makna simbolis kuda
renggong adalah makna spiritual, makna interaksi makhluk Tuhan,
bermakna spiritual, teatrikal dan makna universal.
Nama-nama kelompok kesenian kuda
renggong di Majalengka merujuk kepada nama atau julukan yang diberikan
kepada kuda yang menjadi ronggeng-nya. Misalnya Si Walet Group, karena
nama kudanya adalah.Si Walet, demikian pula halnya dengan nama-nama
seperti Si Paser Group, Si Kalong Group, dsb. Nama-nama ini juga tidak
diberikan begitu saja, karena pemberian nama juga harus mempertimbangkan
wanda (bentuk tubuh), karakter, dan tingkat keterampilan kuda. Misalnya
Si Kalong Hideung, nama ini diberikan karena kulit tubuh kuda dimaksud
berwarna hitam dan bermata seperti kalong, Si Paser karena keterampilan
berlarinya yang cepat melesat seperti sebuah paser (anak panah).
Beberapa nama kuda di beberapa daerah ada yang sama, ini disebabkan oleh
penyebaran keturunan, balk pemilik kuda maupun kuda sendiri. Atau
bahkan karena pemilik kuda yang satu berguru kepada pemilik kuda yang
lain, sehingga - dengan komitmen seperlunya - memberikan nama yang sama
kepada kuda yang dimilikinya.
Hingga saat ini, tercatat ada 50 group
kesenian kuda renggong di Majalengka. Indraswara penyelenggara festival
kuda renggong paling sedikit mengundang sedikitnya 15 group kuda
renggong. untuk tampil pada acara festival tahunan yang secara resmi
dibuka oleh Bupati Majalengka.
Sedangkan group kuda renggong yang masih eksis saat ini beberapa di antaranya sebagaimana disebut pada tebal di bawah ini.
Nama Group |
Nama
|
Pimpinan |
Alamat |
Jaya Giri |
Si Jaya |
Ijah |
Baribis, Cigasong |
Sari |
Si Ronald |
Juhadi |
Sinarjati, Dawuan |
Si Giler Group |
Si Giler |
Entis |
Kasokandel, Dawuan |
Sri |
Si Amoy |
Ujang Yana |
Gandu, Dawuan |
Pamor Budaya |
Si Jaya Laksana
|
Toto |
Sadasari, Argapura
|
Budaya |
Si Gagak |
Ajid |
Leuwimunding |
Sinar Jaya |
Si Dolar |
Dedi Supriatna
|
Cieurih, Maja |
Meganada |
Si Walet Muda
|
Ahmad |
Sukaraja. Jatiwangi
|
Arpila |
Si Disco |
Aminudin |
Padahanten, Sukahaji
|
Dimas |
Si Dimas |
Ade |
Tarikolot, Cigasong
|
Muda Jaya |
- |
Kosasih |
Darmalarang, Banjaran
|
Walet |
Si Walet |
M. Sodikin |
Sadasari, Cikijing |
Si Kalong Hideung
|
Si Kalong |
Ujang Sutarding
|
Palasah |
Gatot |
Si Gatot |
Adar |
Palasah |
GEMBYUNG
Seni
tradisional Gembyung berasal dari nama salah satu gamelan Sunda yang
disebit Goong, dilengkapi alat musik lainnya oleh pemain yang berjumlah
lengkapnya 25 orang. Mereka terdiri atas : pemain kenting satu dan dua;
pemain kemong satu dan
dua; pemain kendang katipluk; pemain kolenter; pemain gembyung satu
dan dua pemain suling; dan pemain rebab; sertapemain kemong satu dan
dua.
Biasanya kesenian Gembyung darn Kabupaten Majalangka ini.ditampilkan
dalam acara-acara yang bernuansa religius, misalnya dalam acara
pernikahan, mauludan, peresmian mesjid atau haulan seperti pernah
dilaksanakan di Pesantren Benda Cirebon, dan di salah satu pesantren di
Kabupaten Subang (di Pamanukan). Selain itu, pernah pula dipentaskan
untuk mewakili seni tradisional Majalengka yang dilaksanakan di Taman
Mini Indonesia Indah pada tahun 1984 dan 1986 lalu.
Penampilan seni Gembyung diawali dengan pembacaan tawasul dan
hadhoroh kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarganya dan para sahabatnya
serta kepada para pengikutnya yang taat kepada-Nya. Kemudian tampil
lagu-lagu yang materinya adalah shalawat yang bersumber dari Kitab
barjanji (yaitu kitab yang ditulis Imam Barjajnji) atau yang disebut
Deba, diiringi oleh musik gembyung tersebut. Pertama kali muncul seni
budaya tradisional Gembyung di Kabupaten Majalengka diperkirakan sejak
sebelum tahun 1930an. Pada sekitar tahun 1970-an pernah mengalami
kemandegan, tetapi atas upaya yang sungguh-sungguh dari para tokoh seni
itu seperti yang dilakukan oleh H.E. Zaenal Muttagin, Dudung dan ustadz
Sadeli dari Gunung Manik Kec. Talaga, termasuk pula dari dukungan Bupati
Majalengka pada masa H.E. Jaelani, SH juga Bupati sekarang Hj. Tutty
Hayati Anwar SH., M.Si. untuk mengeksiskan kembali seni Gembyung dengan
kemasan menarik, Walaupun termasuk kelompk seni yang mempunyai akar
budaya buhun (kuno), tetapi dalam perkembangannya cenderung dikemas
secara dinamis oleh para seniman yang ahli di bidangnya yaitu dengan
mengikuti perkembangan zaman.
Beberapa kelompok kesenian gembyung antara lain
- Group Laila, pimpinan Bapak Oyo, di Buninagara Bantarujeg;
- Panji Wulung, pimpinan Kyai Bahrudin, di Gunungmanik;
- Mekar Budaya Putra, pimpinan Yaya Suhaya, di Gunung Manik; ditambah dua group lainnya di Ganeas dan Salado;
- Miftahul Jannah, pimpinan Noyadi, di Darmalarang, Banjaran;
- Panca Darma, pimpinan (ping Jaenudin, di Burujuiwetan JatiwangI.
GOONG RENTENG
Kesenian ini disebut kesenian Goong Renteng atau Goong Ajeng. Kata ajeng dalam hal ini mengandung arti mempersilakan.
Kesenian ini dirintis oleh Bapak Timpuk,
Kepala Desa Gintung Kecamatan Sukahaji pada tahun 1799. Sekarang nama
desa ini sudah berganti menjadi Desa Bayureja.
Konon Bapak Timpuk berhubungan dengan
Syeh Siti Jenar dari Cirebon, yang pada waktu itu agama Islam sudah
mulai tersebar di wilayah Cirebon. Bapak Timpuk merasa tertarik untuk
turut menyebarkan agama Islam di wilayahnya. Maka is mencoba membuat
alat kesenian goong renteng sebagai media penyebaran agama Islam yang
dilakukannya.
Setelah Bapak Timpuk meninggal pada
tahun 1855, goong renteng diwariskan kepada anak cucunya, dengan pesan
bahwa kelak yang harus mengrus goong ini adalah istri-istri dari anak
cucu yang mendapat warisan itu. Kini usia goong itu sudah lebih dari 11
turunan, hingga jatuh kepada pemiliknya yang terakhir sekarang, yaitu.
Ibu Marsiah.
Goong ini sekarang dianggap sebagai
barang keramat, yang disimpan dengan balk serta setiap malam Jum'at
diberi bakaran menyan clan ditaburi bunga-bunga. Setiap tanggal 13 Mulud
goong dicuci dengan air kembang, dan pads malam tanggal 14 ditabuh
sambil menyanyikan lagu-lagu klasik.
Jalannya pertunjukan adalah sebagai berikut
- tatalu;
- lagu Papalayon (lagu pembukaan);
- Iagu Engko;
- lagu Halang naik Pangprang;.
- lagu Oet-oetan;
- Iagu Dengkleung (lagu Penutup).
Pada acara hajatan durasi pertunj_ukan
diperpanjang dan jumlah Iagunya diperbanyak. Kondisi kesenian Goong
Renteng sekarang sudah sangat memprihatinkan. Untuk itu, perlu ada upaya
penanganan yang serius dari pihak-pihak terkait agar kesenian ini mampu
bangkit dan hidup kembali.